Selasa, 03 Januari 2012

Good Governance


PENERAPAN GOOD GOVERNANCE 
DALAM PENGELOLAAN KEUANGAN NEGARA

A.    PENDAHULUAN
1.      Pengertian Governance dan Good Governance
Saat ini istilah governance dan good governance semakin sering digunakan dalam literatur pembangunan maupun dalam pengelolaan keuangan negara. Beberapa negara, lembaga internasional maupun lembaga donor telah memberikan definisi/ pengertian, prinsip-prinsip dan pandangan mereka tentang governance dan good governance.
The Institute of Internal Auditors (2009) mendefinisikan governance  sebagai “the combination of processes and structure implemented by the board to inform, direct, manage, and monitor the activities of the organization toward the achievement of its objectives”. Dari definisi tersebut terlihat bahwa IIA menekankan pada kombinasi antara proses dan struktur yang diterapkan oleh lembaga dalam mencapai tujuan lembaga tersebut.
Lembaga-lembaga internasional lainnya, seperti UNDP, ADB, dan Bank Dunia juga memberikan konsep governance yang seringkali agak kabur, yang kemungkinan disebabkan terlalu banyak literatur dan pertimbangan dalam merumuskan konsep governance tersebut. Berikut ini konsep governance dari lembaga-lembaga tersebut (dikutip oleh McCawley, n.d.):
"GOVERNANCE is the exercise of political, economic and administrative authority to manage a nation's affairs. It is the complex mechanisms, processes and institutions through which citizens and groups articulate their interests, exercise their legal rights and obligations, and mediate their differences."(UNDP)
“GOVERNANCE is the manner in which power is exercised in the management of a country’s social and economic resources for development. Governance means the way those with power use that power.” (ADB)
GOVERNANCE is "… the traditions and institutions by which authority in a country is exercised for the common good. This includes (i) the process by which those in authority are selected, monitored and replaced, (ii) the capacity of the government to effectively manage its resources and implement sound policies, and (iii) the respect of citizens and the state for the institutions that govern economic and social interactions among them. " (World Bank).
Adapun definisi governance dan good governance menurut AusAid (2000, p.3) adalah sebagai berikut:
‘Governance’ is the exercise of power or authority – political, economic, administrative or otherwise – to manage a country's resources and affairs. It comprises the mechanisms, processes and institutions through which citizens and groups articulate their interests, exercise their legal rights, meet their obligations and mediate their differences.
‘Good governance’ means competent management of a country’s resources and affairs in a manner that is open, transparent, accountable, equitable and responsive to people’s needs.
Definisi governance yang dikemukakan oleh World Bank, ADB, UNDP maupun AusAid terlihat bahwa penekanan governance tersebut ditujukan pada tataran negara / pemerintahan. Hal ini bisa dimengerti karena lembaga-lembaga tersebut didirikan untuk memberikan bantuan / pinjaman pada tingkat negara / pemerintahan. Adapun definisi yang dikemukan oleh IIA tidak ditujukan secara khusus pada negara / pemerintah, tetapi kepada lembaga / entitas secara umum, yang termasuk didalamnya adalah perusahaan / korporasi.
Khusus mengenai definisi governance yang dikemukakan oleh World Bank dan UNDP, Mardiasmo (2002, p.23) mengatakan bahwa definisi yang dikemukakan World Bank lebih menekankan pada cara pemerintah mengelola sumber daya sosial dan ekonomi untuk kepentingan pembangunan masyarakat, sedangkan UNDP lebih menekankan pada aspek politik, ekonomi, dan administratif dalam pengelolaan negara. Jika mengacu pada World Bank dan UNDP, orientasi pembangunan sektor publik adalah untuk menciptakan good governance. Dan pada akhirnya, Good governance seringkali diartikan sebagai kepemerintahan yang baik.
2.      Prinsip-Prinsip Good Governance
Artjana (2004) mengungkapkan bahwa Good governance menghendaki pemerintahan dijalankan dengan mengikuti prinsip-prinsip pengelolaan yang baik, seperti transparansi (keterbukaan), akuntabilitas, partisipasi, keadilan, dan kemandirian, sehingga sumber daya negara yang berada dalam pengelolaan pemerintah benar-benar mencapai tujuan sebesar-besarnya untuk kemakmuran dan kemajuan rakyat dan negara. Penerapan prinsip-prinsip good governance dalam penyelenggaraan negara tak lepas dari masalah akuntabilitas dan tranparansi dalam pengelolaan keuangan negara, karena aspek keuangan negara menduduki posisi strategis dalam proses pembangunan bangsa, baik dari segi sifat, jumlah maupun pengaruhnya terhadap kemajuan, ketahanan, dan kestabilan perekonomian bangsa.
United Nations Economic Commision for Europe (2008, p.13-14) mengidentifikasikan beberapa prinsip good governance berupa enam Prinsip Dasar Good Governance yang telah diterima secara luas yaitu participation, decency, transparency, accountability, fairness, dan efficiency. Demikian juga halnya dengan The Independent Commission on Good Governance in Public Services[1] (2004) yang menetapkan enam prinsip good governance dalam pelayanan publik, yaitu:
1)      Good governance means focusing on the organisation’s purpose and on outcomes for citizens and service users
2)      Good governance means performing effectively in clearly defined functions and roles
3) Good governance means promoting values for the whole organisation and demonstrating the values of good governance through behaviour
4)      Good governance means taking informed, transparent decisions and managing risk
5)      Good governance means developing the capacity and capability of the governing body to be effective
6)      Good governance means engaging stakeholders and making accountability real.
Lembaga multilateral lainnya juga mengidentifikasikan karakteristik good governance, diantaranya Asian Development Bank (1995) yang mengidentifikasikan empat elemen dasar good governance yaitu accountability, participation, predictability dan transparency. Sedangkan UNDP (dikutip oleh Mardiasmo, 2002) memberikan beberapa karakteristik pelaksanaan good governance, yang meliputi participation, rule of law, transparency, responsivesness, consencus orientation, equity, efficiency and effectiveness, accountability, dan strategic vision.
Dari delapan karakteristik yang dikemukakan UNDP tersebut, Mardiasmo (2002) menyimpulkan bahwa paling tidak terdapat tiga hal yang dapat diperankan oleh akuntansi sektor publik yaitu penciptaan transparansi, akuntabilitas, dan value of money (economy, efficiency, dan effectiveness). Sedangkan Sedarmayanti (2004) mengungkapkan bahwa keseluruhan karakteristik atau prinsip good governance tersebut adalah saling memperkuat dan saling terkait serta tidak bisa berdiri sendiri dan selanjutnya menyimpulkan bahwa terdapat empat unsur utama yang dapat memberi gambaran administrasi publik yang berciri kepemerintahan yang baik yaitu akuntabilitas, transparansi, keterbukaan, dan aturan hukum.
Dalam rangka mendukung terwujudnya good governance dalam penyelenggaraan negara, Suminto (2004) mengungkapkan bahwa pengelolaan keuangan negara perlu diselenggarakan secara professional, terbuka, dan bertanggung jawab sesuai dengan aturan pokok yang telah ditetapkan dalam UUD 1945. Sebagai penjabaran aturan pokok yang telah ditetapkan dalam UUD 1945 tersebut, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 mengatur bahwa dalam rangka mendukung terwujudnya good governance dalam penyelenggaraan negara, pengelolaan keuangan negara perlu diselenggarakan secara profesional, terbuka, dan bertanggung jawab sesuai dengan aturan pokok yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar. Aturan pokok tersebut selanjutnya dijabarkan ke dalam asas-asas umum yang telah lama dikenal dalam pengelolaan keuangan negara, seperti asas tahunan, asas universalitas, asas kesatuan, dan asas spesialitas, maupun asas-asas baru sebagai pencerminan best practices (penerapan kaidah-kaidah yang baik) dalam pengelolaan keuangan negara, antara lain berupa akuntabilitas berorientasi pada hasil, profesionalitas, proporsionalitas, keterbukaan dalam pengelolaan keuangan negara, serta pemeriksaan keuangan oleh badan pemeriksa yang bebas dan mandiri.
Secara khusus, dalam penjelasan umum Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004  dinyatakan bahwa perlu dilakukan pelurusan kembali pengelolaan keuangan pemerintah dengan menerapkan prinsip-prinsip pemerintahan yang baik (good governance) yang sesuai dengan lingkungan pemerintahan. Undang-undang ini mengatur prinsip-prinsip yang berkaitan dengan pelaksanaan fungsi-fungsi pengelolaan kas, perencanaan penerimaan dan pengeluaran, pengelolaan utang piutang dan investasi serta barang milik negara/daerah yang selama ini belum mendapat perhatian yang memadai. Selanjutnya, Lembaga Administrasi Negara (dikutip oleh Sedarmayanti, 2004) menyimpulkan bahwa wujud good governance adalah penyelenggaraan pemerintahan negara yang solid dan bertanggung jawab serta efisien dan efektif, dengan menjaga “kesinergian” interaksi yang konstruktif antara domain negara, sektor swasta dan masyarakat.
3.      SPIP
Saat ini masih sering dijumpai kelemahan dalam penyelenggaran sistem pengendalian intern pada Instansi Pemerintah di Indonesia. Hal ini terjadi karena masih banyak dijumpai keterbatasan dan hambatan dalam pelaksanaannya, sebagaimana diungkapkan oleh Satgas Pembinaan SPIP (2009), yaitu:
a.       Pimpinan Instansi Pemerintah masih belum sepenuhnya sadar pentingnya sistem pengendalian intern.
b.      Perspektif Pimpinan Instansi Pemerintah dan auditor atau evaluator terhadap pelaksanaan sistem pengendalian intern belum sepenuhnya mendukung terciptanya lingkungan pengendalian yang memadai.
c.       Kesalahan-kesalahan yang terjadi dilakukan oleh personil baik secara sengaja maupun tidak disengaja.
Kelemahan-kelemahan pengendalian intern ini pada akhirnya menjadi hambatan dalam mewujudkan good governance.
Unsur-unsur Sistem Pengendalian Intern Pemerintah yang terdiri dari lingkungan pengendalian, penilaian risiko, kegiatan pengendalian, informasi dan komunikasi, dan pemantauan pengendalian intern merupakan proses yang integral pada tindakan dan kegiatan yang dilakukan secara terus menerus oleh pimpinan dan seluruh pegawai untuk memberikan keyakinan memadai atas tercapainya tujuan organisasi melalui kegiatan yang efektif dan efisien, keandalan pelaporan keuangan, pengamanan aset negara, dan ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan.[2]  Penerapan SPIP yang efektif merupakan pondasi dalam rangka menciptakan akuntabilitas keuangan negara dan memberikan keyakinan yang memadai bahwa pengelolaan keuangan negara telah diselenggarakan secara professional, terbuka, dan bertanggung jawab. Dan pada akhirnya tercipta pula good governance dalam pengelolaan keuangan negara.
B.     PEMBAHASAN
Dalam upaya melakukan reformasi di pemerintahan, Pemerintah telah melakukan reformasi di bidang keuangan negara dengan ditetapkannya tiga paket perundang-undangan di bidang keuangan negara, yaitu Undang-undang No. 17 Tahun 2004 tentang Keuangan Negara, Undang-undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan Undang-undang No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Tanggung Jawab dan Pengelolaan Keuangan Negara. Undang-undang Keuangan Negara yang baru tersebut membawa implikasi ditetapkannya suatu sistem pengelolaan keuangan negara yang lebih transparan, akuntabel, dan terukur. Untuk mewujudkan hal tersebut, diperlukan suatu sistem pengendalian intern yang dapat memberikan keyakinan yang memadai atas tercapainya tujuan Instansi secara efektif dan efisien, keandalan pelaporan keuangan, pengamanan aset negara, dan ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Lebih lanjut dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 2004 diatur bahwa dalam rangka meningkatkan kinerja, transparansi, dan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara, Presiden selaku Kepala Pemerintahan mengatur dan menyelenggarakan sistem pengendalian intern di lingkungan pemerintahan secara menyeluruh yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah. Selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2006 dijelaskan bahwa untuk meningkatkan keandalan laporan keuangan dan kinerja, setiap entitas pelaporan akuntansi wajib menyelenggarakan sistem pengendalian internal sesuai dengan ketentuan dan peraturan perundang-undangan yang terkait.
1.      Perencanaan dan Penganggaran
Bastian (2006, p.3) mengungkapkan bahwa perencanaan dan penganggaran merupakan rangkaian kegiatan dalam satu kesatuan atau kontinum. Penyusunan rencana perlu memperhatikan kapasitas fiskal yang tersedia, sehingga dalam penerapannya, konsekuensi dan penganggaran perlu diperhatikan. Adapun pengertian perencanaan menurut Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 adalah suatu proses untuk menentukan tindakan masa depan yang tepat, melalui urutan pilihan, dengan memperhitungkan sumber daya yang tersedia. Perencananaan hendaknya disusun secara sistematis, terarah, terpadu, menyeluruh, dan tanggap terhadap perubahan serta melalui tahapan-tahapan yang terdiri dari penyusunan rencana, penetapan rencana, pengendalian pelaksanaan rencana, dan evaluasi pelaksanaan rencana.
Berkaitan dengan penganggaran, Bastian (2006, p.39) membedakan pengertian anggaran dengan penganggaran. Anggaran merupakan pernyataan mengenai estimasi kinerja yang hendak dicapai selama periode waktu tertentu yang dinyatakan dalam ukuran finansial, sedangkan penganggaran adalah proses atau metode untuk mempersiapkan suatu anggaran. Adapun aspek-aspek yang harus tercakup dalam anggaran meliputi aspek perencanaan, aspek pengendalian dan aspek akuntabilitas publik.
Dalam UU Nomor 17 tahun 2003 dijelaskan bahwa Anggaran adalah alat akuntabilitas, manajemen, dan kebijakan ekonomi. Sebagai instrumen kebijakan ekonomi anggaran berfungsi untuk mewujudkan pertumbuhan dan stabilitas perekonomian serta pemerataan pendapatan dalam rangka mencapai tujuan bernegara. Masalah lain yang tidak kalah pentingnya dalam upaya memperbaiki proses penganggaran di sektor publik adalah penerapan anggaran berbasis prestasi kerja. Mengingat bahwa sistem anggaran berbasis prestasi kerja/hasil memerlukan kriteria pengendalian kinerja dan evaluasi serta untuk menghindari duplikasi dalam penyusunan rencana kerja dan anggaran kementerian negara/lembaga/perangkat daerah, perlu dilakukan penyatuan sistem akuntabilitas kinerja dalam sistem penganggaran dengan memperkenalkan sistem penyusunan rencana kerja dan anggaran kementerian negara/lembaga/perangkat daerah. Dengan penyusunan rencana kerja dan anggaran kementerian/lembaga/perangkat daerah tersebut dapat terpenuhi sekaligus kebutuhan akan anggaran berbasis prestasi kerja dan pengukuran akuntabilitas kinerja kementerian/lembaga/perangkat daerah yang bersangkutan.
Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 telah mereformasi secara signifikan sistem penganggaran yang telah puluhan tahun diterapkan di Indonesia. Suminto (2004, p.20-24) menjelaskan bahwa faktor-faktor yang mendorong reformasi di bidang penganggaran adalah:
(1)   Ada beberapa aspek dari proses penganggaran di Indonesia yang menghambat pendistribusian dana anggaran ke berbagai program;
(2)   Perkiraan pendapatan dan proyeksi anggaran negara tidak disiapkan dalam suatu kerangka makro;
(3)   Tidak ada suatu kerangka penyatuan anggaran (unified framework for budgeting) mengingat anggaran rutin dan pembangunan disiapkan secara terpisah;
(4)   Sistem penganggaran yang berlaku menimbulkan kurangnya informasi mengenai hasil suatu program (program results);
(5)   Pelaksanaan anggaran dan monitoring masih menjadi hal yang lemah;
(6)   Susunan alokasi anggaran yang cukup terinci, secara tidak langsung mencerminkan kontrol yang kuat, namun dalam realisasinya ditengarai menimbulkan berbagai penyimpangan (KKN) dan kebocoran anggaran.
Adapun pokok-pokok reformasi penganggaran yang terpenting meliputi:
(1)   Penerapan pendekatan penganggaran dengan perspektif jangka menengah;
(2)   Memadukan (unifying) atau mengintegrasikan anggaran rutin dan anggaran pembangunan;
(3)   Penerapan anggaran berbasis kinerja.
Sebelum diberlakukannya UU Nomor 17 Tahun 2003, Belanja Negara dibedakan atas pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan (dual-budgeting). Pengeluaran rutin didefinisikan sebagai pengeluaran untuk keperluan operasional untuk menjalankan kegiatan rutin pemerintahan. Sementara pengeluaran pembangunan didefinisikan sebagai pengeluaran yang menghasilkan nilai tambah aset, baik fisik maupun non fisik, yang dilaksanakan dalam periode tertentu. Belanja pembangunan adalah pengeluaran berkaitan dengan proyek-proyek yang meliputi belanja modal dan belanja penunjang.
Lebih lanjut Suminto (2004, p.25-29) mengungkapkan bahwa pemisahan anggaran rutin dan anggaran pembangunan tersebut semula dimaksudkan untuk menekankan arti pentingnya pembangunan, namun dalam pelaksanaannya telah menunjukan banyak kelemahan. Pertama, duplikasi antara belanja rutin dan belanja pembangunan oleh karena kurang tegasnya pemisahan antara kegiatan operasional organisasi dan proyek, khususnya proyek-proyek non-fisik. Dengan demikian, kinerja sulit diukur karena alokasi dana yang ada tidak mencerminkan kondisi yang sesungguhnya. Kedua, penggunaan “dual budgeting” mendorong dualisme dalam penyusunan daftar perkiraan mata anggaran keluaran (MAK) karena untuk satu jenis belanja, ada MAK yang diciptakan untuk belanja rutin dan ada MAK lain yang ditetapkan untuk belanja pembangunan. Ketiga, analisis belanja dan biaya program sulit dilakukan karena anggaran belanja rutin tidak dibatasi pada pengeluaran untuk operasional dan belanja anggaran pembangunan tidak dibatasi pada pengeluaran untuk investasi. Keempat, proyek yang menerima anggaran pembangunan diperlakukan sama dengan satuan kerja, yaitu sebagai entitas akuntansi, walaupun proyek hanya bersifat sementara. Jika proyek sudah selesai atau dihentikan tidak ada kesinambungan dalam pertanggungjawaban terhadap asset dan kewajiban yang dimiliki proyek tersebut. Hal ini selain menimbulkan ketidakefisienan dalam pembiayaan kegiatan pemerintahan, juga menyebabkan ketidakjelasan keterkaitan antara output/outcome yang dicapai dengan penganggaran organisasi.
Sejalan dengan amanat UU Nomor 17 tahun 2003, lebih lanjut Suminto (2004) menjelaskan bahwa penganggaran pada sektor publik diarahkan untuk menerapkan secara penuh anggaran berbasis kinerja (performance-based budgeting) agar penggunaan anggaran tersebut bisa dinilai kemanfaatan dan kegunaannya bagi masyarakat. Sebagaimana dipahami, selama ini kita menerapkan traditional budgeting atau dikenal pula sebagai line-item budgeting. Line-item budgeting ini mempunyai sejumlah karakteristik penting, antara lain tujuan utamanya adalah untuk melakukan kontrol keuangan, sangat berorientasi pada input organisasi, penetapannya melalui pendekatan incremental (kenaikan bertahap), dan tidak jarang dalam prakteknya memakai “kemampuan menghabiskan atau menyerap anggaran” sebagai salah satu indikator penting untuk mengukur keberhasilan organisasi. Dalam praktek pelaksanaannya, karakteristik seperti di atas mengandung banyak kelemahan. Dalam rejim pemerintahan yang sarat dengan KKN, karakteristik yang berkaitan dengan tujuan untuk melakukan kontrol keuangan, seringkali dilaksanakan hanya sebatas aspek administratifnya saja. Hal ini mungkin untuk dilakukan karena ditunjang oleh karakteristik lainnya yaitu sangat berorientasi pada input organisasi. Dengan demikian sistem anggaran tidak memberikan informasi tentang kinerja, sehingga sangat sulit untuk melakukan kontrol kinerja.
Kelemahan lainnya terkait dengan karakteristik penetapan anggaran dengan pendekatan incremental, yaitu menetapkan rencana anggaran dengan cara menaikkan jumlah tertentu pada jumlah anggaran yang lalu atau sedang berjalan adalah jika melalui pendekatan ini maka analisis yang mendalam tentang tingkat keberhasilan setiap program tidak dilakukan. Akibatnya adalah tidak tersedia informasi yang logis dan rasional tentang rencana alokasi anggaran tahun yang akan datang. Siapa atau unit mana mendapat berapa sering kali didasarkan pada catatan historis semata dan tidak berorientasi pada tujuan organisasi. Adapun kelemahan lainnya terkait dengan penggunaan “kemampuan menghabiskan anggaran” sebagai indikator keberhasilan adalah sering terjadi dalam praktik perilaku birokrat yang selalu berusaha untuk menghabiskan anggaran tanpa terkait dengan hasil dan kualitasnya. Sebagai akibat dari berbagai kelemahan di atas, maka masalah besar yang dihadapi oleh sistem line-item budgeting adalah effectiveness problem, efficiency problem, dan accountability problem. Bahkan jikapun sistemnya sudah transparan, maka informasi yang dapat diterima oleh masyarakat tidak terlalu penting, karena hanya berkaitan dengan input organisasi.
2.      Pertanggungjawaban Pengelolaan Keuangan Negara
Menurut UU Nomor 17 Tahun 2003, salah satu upaya konkrit untuk mewujudkan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara adalah penyampaian laporan pertanggungjawaban keuangan pemerintah yang memenuhi prinsip-prinsip tepat waktu dan disusun dengan mengikuti standar akuntansi pemerintah yang telah diterima secara umum. Selain itu perlu ditegaskan prinsip yang berlaku universal bahwa barang siapa yang diberi wewenang untuk menerima, menyimpan dan membayar atau menyerahkan uang, surat berharga atau barang milik negara bertanggungjawab secara pribadi atas semua kekurangan yang terjadi dalam pengurusannya. Kewajiban untuk mengganti kerugian keuangan negara oleh para pengelola keuangan negara dimaksud merupakan unsur pengendalian intern yang andal.
C.    KESIMPULAN
Penerapan prinsip-prinsip good governance dalam penyelenggaraan negara berkaitan erat dengan akuntabilitas dan transparansi dalam pengelolaan keuangan negara. Hal ini disebabkan aspek keuangan negara menduduki posisi strategis dalam proses pembangunan bangsa.
Mengingat begitu pentingnya APBN sebagai rencana kerja penyelenggara negara, maka proses penyusunan dan penetapan, pelaksanaan, dan pertanggungjawaban APBN setiap tahun anggaran melalui serangkaian tahapan kegiatan yang saling berkaitan. Dan dengan berlakunya perundang-undangan di bidang keuangan negara, yaitu Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-Undang Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan, Undang-Undang Nomor 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggungjawab Keuangan Negara, maka pengelolaan keuangan di Indonesia mengacu pada ketiga undang-undang tersebut. Untuk melaksanakan Undang-Undang tersebut di atas dan sebagai petunjuk pelaksanaannya maka ditetapkan pula berbagai peraturan turunannya, baik berupa Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri Keuangan maupun Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan.
Pengelolaan dan tanggung jawab Keuangan Negara mencakup akuntabilitas yang harus diterapkan oleh semua entitas atau pihak yang melakukan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Akuntabilitas diperlukan untuk dapat mengetahui pelaksanaan program yang dibiayai  dengan keuangan negara, tingkat kepatuhannya terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, serta untuk mengetahui tingkat kehematan, efisiensi, dan efektivitas dari program tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Artjana, I Gde. 2004. Upaya Membangun Akuntabilitas Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Negara di Lingkungan Militer Menuju Terciptanya Good Governance Tantangan dan Harapan.  Makalah dipaparkan dalam FGD SSR Propatria, tanggal 27 Februari 2004
Asian Development Bank. 1999. Governance: Sound Development Management. Manila: Published by Asian Development Bank
Australian Government’s Overseas Aid Program. 2000. Good Governance: Guiding Principles for Implementation. Canberra: Published by the Australian Agency for International Development (AusAID)
Bastian, Indra. 2006. Sistem Perencanaan dan Penganggaran Pemerintahan Daerah di Indonesia. Jakarta: Penerbit Salemba Empat.
Independent Commission on Good Governance in Public Services. 2004. The Good Governance Standard for Public Services. London
Institute of Internal Auditors. 2009. International Professional Practices Framework (IPPF). Florida: IIA
Mardiasmo. 2002. Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah. Yogyakarta: Penerbit  Andi
McCawly, Peter. nd. Governance in Indonesia: Some Comments. Tokyo: Asian Development Bank Institute
Satgas Pembinaan SPIP. 2009. Draft Pedoman Teknis Penyelenggaraan SPIP: Umum. Jakarta: BPKP
Sedarmayanti, 2004, Good Governance (Kepemerintahan yang Baik). Bagian Kedua: Membangun Sistem Manajemen Kinerja Guna Meningkatkan Produktivitas Menuju Good Governance (Kepemerintahan yang Baik)), Cetakan I. Bandung: Penerbit Mandar Maju
Suminto, 2004, Pengelolaan APBN dalam Sistem Manajemen Keuangan Negara. Makalah sebagai bahan penyusunan Budget in Brief 2004 di Ditjen Anggaran, Departemen Keuangan
United Nations Economic Commision for Europe. 2008. Guide Book on Promoting Good Governance in Public-Private Partnership. New York and Geneva: Published by United Nations Economic Commision for Europe





[1] The Independent Commission on Good Governance in Public Services merupakan suatu organisasi yang didirikan oleh Office for Public Management (OPM) dan Chartered Institute of Public Finance and Accountancy (CIPFA).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar