Selasa, 03 Januari 2012

Penerapan SPIP


PENERAPAN SISTEM PENGENDALIAN INTERN PEMERINTAH
DALAM PENGELOLAAN KEUANGAN NEGARA


A.   LATAR BELAKANG
Dalam upaya melakukan reformasi di pemerintahan, Pemerintah telah melakukan reformasi di bidang keuangan negara dengan ditetapkannya tiga paket perundang-undangan di bidang keuangan negara, yaitu Undang-undang No. 17 Tahun 2004 tentang Keuangan Negara, Undang-undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan Undang-undang No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Tanggung Jawab dan Pengelolaan Keuangan Negara. Undang-undang Keuangan Negara yang baru tersebut membawa implikasi ditetapkannya suatu sistem pengelolaan keuangan negara yang lebih transparan, akuntabel, dan terukur. Untuk mewujudkan hal tersebut, diperlukan suatu sistem pengendalian intern yang dapat memberikan keyakinan yang memadai atas tercapainya tujuan Instansi secara efektif dan efisien, keandalan pelaporan keuangan, pengamanan aset negara, dan ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku.[1]
Secara khusus, dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 2004 disebutkan bahwa dalam rangka meningkatkan kinerja, transparansi, dan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara, Presiden selaku Kepala Pemerintahan mengatur dan menyelenggarakan sistem pengendalian intern di lingkungan pemerintahan secara menyeluruh yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah. Selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2006 dijelaskan bahwa untuk meningkatkan keandalan laporan keuangan dan kinerja, setiap entitas pelaporan akuntansi wajib menyelenggarakan sistem pengendalian internal sesuai dengan ketentuan dan peraturan perundang-undangan yang terkait.
Pada tanggal 28 Agustus 2008 lahirlah sebuah Peraturan Pemerintah  Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP). Dalam Peraturan Pemerintah tersebut dinyatakan bahwa Undang-undang di bidang keuangan negara membawa implikasi perlunya sistem pengelolaan keuangan negara yang lebih akuntabel dan transparan. Hal ini baru dapat dicapai jika seluruh tingkat pimpinan menyelenggarakan kegiatan pengendalian atas keseluruhan kegiatan di instansi masing-masing. Dengan demikian maka penyelenggaraan kegiatan pada suatu Instansi Pemerintah, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, sampai dengan pertanggungjawaban, harus dilaksanakan secara tertib, terkendali, serta efisien dan efektif. Untuk itu dibutuhkan suatu sistem yang dapat memberi keyakinan memadai bahwa penyelenggaraan kegiatan pada suatu Instansi Pemerintah dapat mencapai tujuannya secara efisien dan efektif, melaporkan pengelolaan keuangan negara secara andal, mengamankan aset negara, dan mendorong ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan. Sistem ini dikenal sebagai Sistem Pengendalian Intern yang dalam penerapannya harus memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan serta mempertimbangkan ukuran, kompleksitas, dan sifat dari tugas dan fungsi Instansi Pemerintah tersebut.[2]
B.   MASALAH
Kelemahan penyelenggaraan sistem pengendalian intern pada Instansi Pemerintah di Indonesia terjadi karena masih banyak dijumpai keterbatasan dan hambatan dalam pelaksanaannya yaitu:
  •   Pimpinan Instansi Pemerintah masih belum sepenuhnya sadar pentingnya sistem pengendalian intern.
  •      Perspektif Pimpinan Instansi Pemerintah dan auditor atau evaluator terhadap pelaksanaan sistem pengendalian intern belum sepenuhnya mendukung terciptanya lingkungan pengendalian yang memadai.
  •    Kesalahan-kesalahan yang terjadi dilakukan oleh personil baik secara sengaja maupun tidak disengaja.[3]

Dari hasil survai yang dilakukan oleh KPMG (dikutip oleh Mustafa: 2004) menunjukkan adanya keterkaitan antara pengendalian intern dengan kecurangan. Menurut hasil survai lemahnya pengendalian intern merupakan penyebab utama terjadinya kecurangan. Kecurangan tersebut terjadi karena manajemen mengabaikan pengendalian intern. Di samping itu, bagaimana pun baiknya pengendalian intern, kalau terjadi kolusi, maka semua pertahanan dan pencegahan akan jebol, dan kecurangan akan tetap terjadi. Kolusi bisa terjadi di antara pegawai, di antara pimpinan, di antara pegawai dengan pimpinan, dan diantara pimpinan dan atau para pegawai dengan pihak ketiga seperti dengan para rekanan. Kecurangan adalah unsur utama perbuatan korupsi. Usaha untuk meningkatkan dan membangun sistem pengendalian intern, merupakan salah satu upaya dalam mencegah terjadinya kecurangan atau korupsi.
C.   KAJIAN TEORI
Perubahan ekstern sangat memengaruhi ketidakpastian dalam melaksanakan kegiatan operasional dan memengaruhi dalam mencapai tujuan yang ditetapkan. Perubahan ini membawa pada konsekuensi perlunya sistem pengendalian intern yang kuat untuk meyakinkan tercapainya proses dan hasil kegiatan seperti yang diinginkan.
Jenis pengendalian yang paling tua barangkali adalah pengawasan langsung. Pada unit-unit operasi organisasi ditempatkan pengawas yang melakukan supervisi untuk meyakinkan bahwa kebijakan manajemen yang ditetapkan terpusat dilaksanakan secara ketat pada unit operasional. Pada banyak organisasi yang memanfaatkan pengawasan langsung sebagai metode koordinasi, para pengawas ini tidak melakukan fungsi lain, kecuali sekedar penerus informasi dari manajemen kepada personil di operasional. Sebutan untuk mereka adalah mandor atau supervisor, yang bertugas untuk menterjemahkan pedoman kerja yang umumnya bersifat teknis menjadi perintah-perintah operasional yang lebih sederhana.[4]
Kekurangan dari pengendalian dengan pengawasan langsung adalah keterbatasan rentang kendali (span of control). Kemampuan seseorang untuk melaksanakan pengawasan memiliki batas. Akan dibutuhkan lebih banyak hirarki manajemen yang hanya mempunyai tugas pengawasan sehingga akan menciptakan struktur yang tinggi. Dengan rancangan bahwa pada tingkatan hirarki tengah hanya berfungsi sebagai pengawas, nilai tambah organisasi hanya tercipta di manajemen puncak yang menetapkan kebijakan, dan tingkatan terendah yang melaksanakan operasi. Dengan demikian, dibandingkan dengan jenis pengorganisasian lain, model dengan pengawasan langsung ini menjadi kurang produktif.[5]
Seiring dengan peningkatan kompetensi pekerja dan pelaksana, penetapan pengendalian yang berorientasi alat justru mengurangi produktivitas. Pergeseran karakter pengendalian menuju dari hard control menuju soft control ditandai dengan berkurangnya prosedur dan pengaturan yang ketat. Produktivitas ditingkatkan dengan cara-cara meningkatkan kompetensi, kepercayaan, etik dan penyatuan pandangan. Dalam bahasan manajemen konsep demikian dikenal dengan nama employee/people empowerment.[6]
Sehubungan dengan pergeseran karakter pengendalian tersebut, maka dalam tingkat penyelenggaraan pemerintahan / negara, ditetapkanlah suatu Peraturan Pemerintah tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah yaitu berupa Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008. Peraturan Pemerintah ini merupakan amanat dari  Undang-Undang Nomor 1 tahun 2004 yang menyebutkan bahwa dalam rangka meningkatkan kinerja, transparansi, dan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara, Presiden selaku Kepala Pemerintahan mengatur dan menyelenggarakan sistem pengendalian intern di lingkungan pemerintahan secara menyeluruh yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah.
Pengertian Sistem Pengendalian Intern menurut PP Nomor 60 Tahun 2008 adalah suatu proses yang integral pada tindakan dan kegiatan yang dilakukan secara terus menerus oleh pimpinan dan seluruh pegawai untuk memberikan keyakinan memadai atas tercapainya tujuan organisasi melalui kegiatan yang efektif dan efisien, keandalan pelaporan keuangan, pengamanan aset negara, dan ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan. Adapun Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) adalah  Sistem Pengendalian Intern yang diselenggarakan secara menyeluruh di lingkungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Pengertian Sistem Pengendalian Intern menurut PP Nomor 60 Tahun 2008 tersebut sejalan dengan United States General Accounting Office (1999, p.4) yang menyatakan definisi dan tujuan pengendalian intern sebagai:
An integral component of an organization’s management that provides reasonable assurance that the following objectives are being achieved:
          effectiveness and efficiency of operations,
          reliability of financial reporting, and
          compliance with applicable laws and regulations.
Tidak adanya perbedaan yang signifikan atas definisi sistem pengendalian intern menurut PP Nomor 60 Tahun 2008 dengan  Standard for Internal Control in the Federal Government yang diterbitkan US GAO dikarenakan keduanya mengacu pada COSO’s Internal Control – Integrated Framework. Demikian juga halnya pada sebagian besar pemerintahan dan lembaga-lembaga audit internasional dalam mendefinisikan sistem pengendalian intern mendasarkan pada COSO’s Internal Control – Integrated Framework. Adapun COSO’s Principle of Internal Control (dikutip oleh IIA, 2008, p.11) tersebut adalah sebagai berikut:
          “Internal control is broadly defined as a process, effected by an entity’s board of directors, management, and other personnel, designed to provide reasonable assurance regarding the achievement of objectives.”
          “While internal control is a process, its effectiveness is a state or condition of the process at one or more points in time.”
Menurut PP Nomor 60 Tahun 2008, Sistem Pengendalian Intern dilandasi pada pemikiran bahwa Sistem Pengendalian Intern melekat sepanjang kegiatan, dipengaruhi oleh sumber daya manusia, serta hanya memberikan keyakinan yang memadai, bukan keyakinan mutlak. Berdasarkan pemikiran tersebut, dikembangkan unsur Sistem Pengendalian Intern yang berfungsi sebagai pedoman penyelenggaraan dan tolok ukur pengujian efektivitas penyelenggaraan Sistem Pengendalian Intern. Pengembangan unsur Sistem Pengendalian Intern perlu mempertimbangkan aspek biaya-manfaat (cost and benefit), sumber daya manusia, kejelasan kriteria pengukuran efektivitas, dan perkembangan teknologi informasi serta dilakukan secara komprehensif.
Unsur Sistem Pengendalian Intern dalam PP Nomor 60 Tahun 2008 mengacu pada unsur Sistem Pengendalian Intern yang telah dipraktikkan di lingkungan pemerintahan di berbagai negara, yang meliputi:
a.    Lingkungan pengendalian
Pimpinan Instansi Pemerintah dan seluruh pegawai harus menciptakan dan memelihara lingkungan dalam keseluruhan organisasi yang menimbulkan perilaku positif dan mendukung terhadap pengendalian intern dan manajemen yang sehat.
b.    Penilaian risiko
Pengendalian intern harus memberikan penilaian atas risiko yang dihadapi unit organisasi baik dari luar maupun dari dalam.
c.    Kegiatan pengendalian
Kegiatan pengendalian membantu memastikan bahwa arahan pimpinan Instansi Pemerintah dilaksanakan. Kegiatan pengendalian harus efisien dan efektif dalam pencapaian tujuan organisasi.
d.    Informasi dan komunikasi
Informasi harus dicatat dan dilaporkan kepada pimpinan Instansi Pemerintah dan pihak lain yang ditentukan. Informasi disajikan dalam suatu bentuk dan sarana tertentu serta tepat waktu sehingga memungkinkan pimpinan Instansi Pemerintah melaksanakan pengendalian dan tanggung jawabnya.
e.    Pemantauan
Pemantauan harus dapat menilai kualitas kinerja dari waktu ke waktu dan memastikan bahwa rekomendasi hasil audit dan reviu lainnya dapat segera ditindaklanjuti.
Kelima unsur Sistem Pengendalian Intern tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dan didesain untuk mencapai tujuan. Hal ini diungkapkan oleh COSO (2009, p.1) yang menyatakan bahwa “Internal control is designed to assist organizations in achieving their objectives” dan “The five components of COSO’s Internal Control — Integrated Framework (the COSO Framework) work in tandem to mitigate the risks of an organization’s failure to achieve those objectives”. COSO Internal Control Framework tersebut dapat dijelaskan dengan gambar kubus berikut ini
Gambar: The COSO Internal Control Integrated Framework

Dari gambar kubus tersebut dapat dijelaskan bahwa unsur-unsur sistem pengendalian intern tersebut merupakan satu kesatuan yang harus diterapkan pada semua tingkatan dan unit dalam suatu organisasi serta pada semua kegiatan yang dilakukan pada organisasi tersebut dalam rangka mencapai tujuan organisasi yang berupa operasi organisasi berjalan secara efektif dan efisien, keandalan pelaporan keuangan, dan ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku
Kerangka kerja pengendalian COSO tersebut di atas menekankan pada suatu proses penyadaran akan pengendalian, penilaian dan pengelolaan risiko dengan aktivitas pengendalian yang dilakukan oleh setiap orang dalam organisasi. COSO lebih menekankan pada usaha setiap orang untuk mencapai tujuan dari pada penggunaan alat-alat pengendaliannya. Oleh karena itu, kerangka kerja COSO mengedepankan proses dan dinamika organisasi yang mengandalkan pada kompetensi dan kesadaran orang, sehingga disebut sebagai pengendalian yang bersifat lunak (soft control).[7]
Namun demikian, pengendalian internal tersebut memiliki batasan-batasan, sebagaimana diungkapkan oleh COSO (2002, p.79) yang menyatakan bahwa :
“Internal control, no matter how well designed and operated, can provide only reasonable assurance to management and the board of directors regarding achievement of an entity’s objectives. The likelihood of achievement is affected by limitations inherent in all internal control systems. These include the realities that human judgment in decision-making can be faulty, and that breakdowns can occur because of such human failures as simple error or mistake. Additionally, controls can be circumvented by the collusion of two or more people, and management has the ability to override the internal control system. Another limiting factor is the need to consider controls’ relative costs and benefits.”
Lebih lanjut, Intosai (n.d., p.12) mengungkapkan keterbatasan atas efektivitas pengendalian intern yang diantaranya disebabkan pengendalian intern tergantung pada  faktor manusia, batasan sumberdaya serta perubahan organisasi dan perilaku manajemen.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa untuk menyelenggarakan pengendalian intern dibutuhkan biaya sehingga perlu mempertimbangkan biaya dan manfaat atas pengendalian yang hendak diterapkan. Di samping itu, pengendalian intern sangat tergantung pada faktor manusianya sehingga rentan terhadap kesalahan pertimbangan atau interpretasi, kesalahpahaman, kecerobohan, maupun kecurangan, termasuk di dalamnya ketidakmampuan pengendalian intern untuk mengatasi kolusi yang dilakukan oleh dua orang atau lebih.
D.   PEMBAHASAN
1.    Lingkungan Pengendalian
Lingkungan pengendalian merupakan kondisi dalam Instansi pemerintah yang memengaruhi efektivitas pengendalian intern dan merupakan atmosfir yang kondusif untuk mendorong terimplementasinya sistem pengendalian intern yang efektif. Stringer dan Carey (n.d) mengungkapkan bahwa “....  the heart of effective control is an emphasis on controls categorised as the control environment; management’s philosophy and operating style, integrity and ethical values, assignment of authority and responsibility (e.g., accountability), human resource practices (e.g., training, performance appraisal, remuneration and compensation, employee counselling), audit committee, and internal audit.” Hal ini menunjukkan betapa pentingnya peran lingkungan pengendalian dalam menunjang efektivitas sistem pengendalian intern. Lingkungan pengendalian merupakan jantung dari sistem pengendalian intern itu sendiri.
Gambaran tentang posisi / kedudukan lingkungan pengendalian dapat dijelaskan dengan gambar berikut:
Gambar : Piramida SPIP
Gambar di atas menjelaskan bahwa Lingkungan Pengendalian merupakan pondasi dasar yang mendasari suatu sistem pengendalian intern pemerintah. Apabila Lingkungan Pengendalian menunjukan kondisi yang baik, maka dapat memberi pengaruh yang cukup baik bagi suatu organisasi, namun sebaliknya, apabila lingkungan pengendalian jelek, mengindikasikan bahwa organisasi tersebut tidak sehat.
Dalam PP Nomor 60 Tahun 2008 dinyatakan bahwa Instansi Pemerintah wajib menciptakan dan memelihara lingkungan pengendalian yang menimbulkan perilaku positif dan kondusif untuk penerapan Sistem Pengendalian Intern dalam lingkungan kerjanya, melalui:
a.    penegakan integritas dan nilai etika;
b.    komitmen terhadap kompetensi;
c.    kepemimpinan yang kondusif;
d.    pembentukan struktur organisasi yang sesuai dengan kebutuhan;
e.    pendelegasian wewenang dan tanggung jawab yang tepat;
f.     penyusunan dan penerapan kebijakan yang sehat tentang pembinaan sumber daya manusia;
g.    perwujudan peran aparat pengawasan intern pemerintah yang efektif.
Penegakan Integritas dan Etika
Perilaku etis dan integritas manajemen merupakan produk budaya organisasi. Budaya organisasi mencakup standar perilaku dan etika, bagaimana dikomunikasikan dan bagaimana diterapkan dalam praktik organisasi. Kebijakan-kebijakan formal secara spesifik menentukan apa yang diinginkan manajemen. Budaya organisasi menentukan apa yang sesungguhnya terjadi dan peraturan-peraturan mana yang dipatuhi, dan mana-mana yang dilanggar. Manajemen tertinggi, memainkan peranan yang penting dalam menentukan budaya organisasi. Manajemen tertinggi, biasanya adalah personil yang dominan dalam sebuah organisasi dan secara individu menentukan nilai-nilai etika.[8]
Tegaknya integritas dan nilai etika orang-orang yang melaksanakan sistem pengendalian intern pemerintah merupakan kunci efektivitas pengendalian Instansi Pemerintah. Oleh sebab itu, tanpa penegakan integritas dan nilai etika, efektivitas sistem pengendalian intern pemerintah akan sulit ditingkatkan.[9]  Adapun tujuan akhir dari penegakan integritas dan nilai etika adalah terimplementasikannya integritas dan nilai etika dalam perilaku seluruh pejabat dan pegawai Instansi Pemerintah yang dilaksanakan dengan keteladanan pimpinan; penegakan disiplin yang konsisten, transparan; serta terciptanya suasana kerja yang sehat yang pada akhirnya akan menimbulkan suatu etos kerja dengan perilaku positif dan kondusif.[10] Manfaat penegakan integritas dan nilai etika adalah menekan tingkat korupsi karena sebagian besar faktor penyebab korupsi terkait dengan masalah moral dan etika. Dengan terwujudnya moral dan etika yang baik dan benar akan menekan tingkat korupsi di pemerintahan.[11]
Berkaitan dengan nilai etika, saat ini lembaga audit internal maupun eksternal pemerintah telah menetapkan kode etik dan aturan perilaku. BPK RI sebagai auditor eksternal pemerintah mengeluarkan Peraturan BPK RI Nomor 2 Tahun 2007 tentang Kode Etik Badan Pemeriksa Keuangan, sedangkan Kementerian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara sebagai kementerian yang mengkoordinasikan APIP (Aparat Pengawasan Intern Pemerintah) mengeluarkan Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor PER/04/M.PAN/03/2008 tentang Kode Etik Aparat Pengawasan Intern Pemerintah.
Nilai-nilai dasar yang wajib dipatuhi oleh setiap anggota BPK dan pemeriksa adalah mematuhi peraturan perundang-undangan dan peraturan kedinasan yang berlaku,  mengutamakan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi atau golongan. menjunjung tinggi independensi, integritas dan profesionalitas, serta menjunjung tinggi martabat, kehormatan, citra dan kredibilitas BPK. Sebagai upaya menegakkan kode etik BPK, dalam Peraturan BPK RI tersebut dibentuk pula Majelis Kehormatan dengan anggota berjumlah lima orang, yang terdiri dari tiga orang Anggota BPK, satu orang dari unsur profesi, dan satu orang dari unsur akademisi. Sedangkan maksud dan tujuan
Sejalan dengan BPK  RI, dalam kode etik APIP diatur juga tentang prinsip-prinsip perilaku yang terdiri dari integritas, objektivitas, dan kerahasiaan. Kode etik APIP sendiri dimaksudkan untuk dijadikan pedoman perilaku bagi auditor dalam menjalankan profesinya dan bagi atasan auditor APIP dalam mengevaluasi perilaku auditor APIP.
Adapun dalam rangka penegakan integritas, saat ini sebagian besar instansi pemerintah telah melakukan suatu upaya penegakan integritas tersebut yang berupa penandatangan pakta integritas bagi pegawainya. Dengan penandatangan pakta integritas tersebut diharapkan pegawai di instansi pemerintah terkait akan memiliki dorongan moral untuk berkomitmen terhadap integritas, kompetensi, profesionalitas, serta menerapkan aturan perilaku yang telah ditetapkan di lingkungan instansinya masing-masing.
Sedangkan untuk kegiatan pengadaan barang / jasa pemerintah, dalam Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2006 telah diatur bahwa Pejabat Pembuat Komitmen, pejabat/panitia pengadaan/Unit Layanan Pengadaan (Procurement Unit) menandatangani pakta integritas sebelum pelaksanaan pengadaan barang/jasa dimulai. Pakta integritas ini berupa berisi ikrar untuk mencegah dan tidak melakukan kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN) dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasa.
Komitmen Terhadap Kompetensi
Komitmen dapat didefinisikan sebagai kemauan/kesadaran seseorang untuk berperilaku / sikap, karena suatu kecintaan / kesetiaan terhadap sesuatu / organisasi (tujuannya, fungsinya, dan lain-lain) dan berjanji mau melakukan suatu tindakan secara bertanggung jawab/teguh untuk mencapai tujuan/cita-cita baik tujuannya maupun tujuan organisasi (instansi). Mengacu pada model gunung es, ”kompetensi”, mempunyai 5 (lima) karakteristik terhadap kompetensi seseorang, yaitu motivasi, responsif, konsep diri (ketiganya sulit diukur), pengetahuan dan keterampilan (mudah diukur), Dari ke lima karakteristik ini akan mengarahkan seseorang untuk berperilaku, selanjutnya perilaku akan menghasilkan kinerja yang pada akhirnya bermuara peningkatan kualitas/produktifitas.[12]
Manajemen perlu untuk menetapkan secara rinci tingkat kompetensi yang diperlukan untuk pekerjaan tertentu. Rincian tingkat kompetensi tersebut kemudian diterjemahkan dalam persyaratan pengetahuan dan ketrampilan. Pengetahuan dan ketrampilan yang diperlukan, pada akhirnya tergantung pada kecerdasan, pelatihan dan pengalaman individual. Diantara banyak faktor yang dipertimbangkan dalam mengembangkan tingkat pengetahuan dan ketrampilan, diantaranya adalah sifat dan tingkat pertimbangan yang diperlukan pada tugas tertentu. Seringkali terjadi pertukatran (trade off) antara luasnya pengawasan dengan tingkat kompetensi individual yang dipersyaratkan.[13]
Kepemimpinan yang Kondusif
Sub unsur lingkungan pengendalian lainnya yang sangat penting adalah kepemimpinan yang kondusif, yang merupakan salah satu pondasi dalam lingkungan pengendalian SPIP. Kepemimpinan tersebut mampu menggerakkan anggota organisasi untuk melaksanakan program dan kegiatan dalam rangka pencapaian tujuan organisasi. Lebih lanjut, Hersey dan Blanchard (dikutip oleh Satgas Pembinaan SPIP, 2009d) mengemukakan bahwa kepemimpinan yang kondusif diperlukan sebagai upaya untuk mempengaruhi perilaku orang lain agar dapat mengikuti kehendaknya dalam rangka mencapai tujuan bersama. Dalam konteks membangun, mengembangkan, dan mengimplementasikan sistem pengendalian intern pemerintah, maka kepemimpinan adalah suatu proses mempengaruhi aktivitas-aktivitas individu dan atau aktivitas-aktivitas kelompok untuk menciptakan iklim kerja yang memungkinkan menerapkan unsur-unsur sistem pengendalian intern yang terdiri dari lingkungan pengendalian, penilaian risiko, kegiatan pengendalian, informasi dan komunikasi, serta pemantauan.
2.    Penilaian Risiko
Keberhasilan dalam mengenali dan mengukur risiko akan dipengaruhi oleh kekuatan lingkungan pengendalian yang terbentuk. Dalam suatu lingkungan pengendalian yang kuat, anggota organisasi akan memiliki kesadaran akan risiko yang tinggi. Demikian pula sebaliknya, kesadaran risiko diantara anggota organisasi akan rendah dalam organisasi dengan lingkungan pengendalian yang lemah.[14]
Pada hakekatnya, risiko dikenali sebagai berbagai ketidakpastian yang mempunyai dampak negatif bagi pencapaian tujuan organisasi. Ketidakpastian ini dapat bersumber dari dalam maupun dari luar organisasi. Sebagai bentukan organisasi, birokrasi pemerintahan memiliki seluruh komponen yang memungkinkan tujuannya tidak dapat tercapai atau tidak dapat secara sempurna tercapai. Oleh karena itu, untuk lebih meyakinkan bahwa instansi pemerintahan akan dapat mencapai tujuannya, pimpinan instansi pemerintah juga diwajibkan untuk melakukan penilaian risiko.[15]
Dalam PP Nomor 60 tahun 2008, dinyatakan bahwa penilaian risiko terdiri atas identifikasi risiko dan analisis risiko. Pelaksanaan identifikasi risiko sekurang-kurangnya dilaksanakan dengan menggunakan metodologi yang sesuai untuk tujuan Instansi Pemerintah dan tujuan pada tingkatan kegiatan secara komprehensif, menggunakan mekanisme yang memadai untuk mengenali risiko dari faktor eksternal dan faktor internal, dan menilai faktor lain yang dapat meningkatkan risiko. Sedangkan analisis risiko dilaksanakan untuk menentukan dampak dari risiko yang telah diidentifikasi terhadap pencapaian tujuan Instansi Pemerintah.
Identifikasi Risiko
Identifikasi risiko merupakan proses mengenali ketidakpastian yang mempengaruhi efektivitas pencapaian tujuan. Oleh karena itu usaha-usaha untuk mengidentifikasi risiko tidak dapat dilepaskan dari pembahasan terhadap aspek-aspek yang terkait dengan penetapan dan pencapaian tujuan. Pengkaitan proses identifikasi risiko dengan tujuan instansi, dilakukan agar proses identifikasi risiko dapat langsung dan fokus mengarah pada usaha-usaha pencapaian tujuan.[16]
Analisis Risiko
Setelah risiko dapat diidentifikasi, selanjutnya diperlukan analisis atas risiko tersebut. Analisis risiko meliputi dua kegiatan penting yang digunakan instansi pemerintah dalam mengelola risiko yang telah diidentifikasi pada tahapan sebelumnya. Kedua kegiatan tersebut adalah menetapkan besaran (magnitude) risiko, dan menetapkan selera risiko instansi.[17] Analisis risiko ini bertujuan untuk memisahkan risiko-risiko kecil (yang dapat diterima) dari risiko-risiko besar, dan menyiapkan data sebagai bantuan dalam mengevaluasi dan menangani/ mengendalikan risiko. Analisis risiko mencakup penentuan kemungkinan (probabilitas) dan dampak dari risiko. Faktor yang memengaruhi timbulnya probabilitas dan dampak juga diidentifikasi.[18]
3.    Kegiatan Pengendalian
Kegiatan pengendalian telah diklasifikasikan oleh The Institute of Internal Auditors (n.d., p.101-105) dalam lima bentuk yaitu preventive control, detective control, corrective control, directive control, dan compensating control. Bentuk preventive control menekankan pada pencegahan agar kesalahan tidak terjadi, detective control menekankan pada pendeteksian kesalahan ketika kesalahan itu terjadi, corrective control memperbaiki kesalahan yang telah dideteksi, directive control merupakan perintah dari manajemen untuk melakukan aktivitas pengendalian tertentu, sedangkan compensating control ditentukan melalui analisis cost-benefit. Beberapa orang berpandangan bahwa pengertian directive control sama dengan preventive control sebab keduanya ditujukan untuk mencegah agar kesalahan tidak terjadi.
Salah satu bentuk kegiatan pengendalian yang bersifat preventif adalah pemisahan fungsi. Berkaitan dengan pemisahan fungsi pada kekuasan atas keuangan negara, Suminto (2004) menjelaskan bahwa pada dasarnya Presiden selaku Kepala Pemerintahan memegang kekuasaan atas pengelolaan keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan. Sebagian kekuasaan itu diserahkan kepada Menteri Keuangan yang kemudian berperan sebagai pengelola fiskal dan wakil pemerintah dalam kepemilikan negara dalam kekayaan negara yang dipisahkan. Sebagian kekuasaan lainnya diberikan kepada menteri/pimpinan lembaga sebagai pengguna anggaran/pengguna barang lembaga/kementrian yang dipimpinnya. Jika Presiden memiliki fungsi sebagai Chief Executive Officer (CEO) maka Menteri Keuangan berperan dan berfungsi sebagai Chief Financial Officer (CFO) sedangkan menteri/pimpinan lembaga berperan sebagai Chief Operating Officers (COOs). Pemisahan fungsi seperti di atas dimaksudkan untuk membuat kejelasan dan kepastian dalam pembagian wewenang dan tanggung jawab. Sebelumnya fungsi-fungsi tersebut belum terbagi secara tegas sehingga seringkali terjadi tumpang tindih antar lembaga. Pemisahan ini juga dilakukan untuk menegaskan terlaksananya mekanisme checks and balances. Selain itu, dengan fokusnya fungsi masing-masing kementrian atau lembaga diharapkan dapat meningkatkan profesionalisme di dalam penyelenggaraan tugas-tugas pemerintah.
Seperti halnya pemerintah pusat, pengelolaan keuangan daerah juga menggunakan pendekatan pembagian fungsi yang tidak berbeda. Gubernur/ Bupati/Walikota akan memiliki fungsi sebagai pemegang kekuasaan pengelolaan Keuangan Daerah atau CEO, dinas-dinas sebagai COO, dan pengelola Keuangan Daerah sebagai CFO.[19]
Sistem operasi antar dan/atau dalam (inter) instansi umumnya dirancang untuk memiliki mekanisme saling uji (internal cek). Melalui mekanisme saling uji demikian, kesalahan dalam pelaksanaan suatu operasi akan segera dapat diketahui sebelum terakumulasi sebagai besaran yang membuat kebijakan pemerintahan menjadi salah arah. Pada tataran kebijakan politik, mekanisme saling uji di lingkungan pemerintahan terlihat pada pemisahan antara kekuasan eksekutif, legislatif dan yudikatif. Pada tingkat operasional pemerintahan terlihat dari pemisahan fungsi perbendaharaan, pelaksanaan anggaran dan pengawasan anggaran. Kedua contoh tersebut mungkin akan tepat mewakili rancangan mekanisme saling uji antar instansi pemerintah.[20]
Lebih mikro lagi, penerapan sistem akuntansi pemerintahan dengan menggunakan metode pencatatan berganda (double entries) merupakan contoh terbaik bagi penerapan saling uji yang terdapat dalam suatu institusi pemerintahan. Bagi penerapan yang konsisten atas sistem penganggaran, pelaksanaan anggaran dan pencatatan keuangan pemerintahan telah pula dilakukan reformasi manajemen keuangan pemerintah.
Dalam sistem yang baru yang telah mengedepankan prinsip-prinsip pengendalian internal dapat diamati dalam proses pelaksanaan anggaran yang lebih meningkatkan akuntabilitas dan menjamin terselenggaranya saling-uji (check and balance). Sistem yang baru memisahkan dengan tegas antara pemegang kewenangan administratif (ordonnateur) dan pemegang fungsi pembayaran (comptable). Di tingkat pemerintah pusat, model tersebut ditunjukkan dengan adanya pembagian tugas antara Menteri Keuangan dan para menteri dalam pelaksanaan anggaran. Sementara itu, di tingkat pemerintah daerah ditunjukkan dengan pembagian tugas antara pemegang kewenangan administratif (dinas-dinas) dengan pemegang kewenangan kebendaharaan yang pada beberapa pemerintah daerah mendapat sebutan sebagai Badan Pengelola Aset dan Keuangan.[21]
4.    Informasi dan Komunikasi
Tan dan Liu (2009) mengungkapkan betapa pentingnya informasi dan komunikasi dalam pengendalian intern. Mereka mengatakan bahwa:
The information system generates all kinds of reports on management, finance and rule-obeying, in order to control the management successfully. The information it deals with includes the internal generative data, the affaires, activities and conditions which can be used in decision-making, and the external reports. The staff should understand their own position in the control system and their mutual relationship, carefully treat their responsibilities. At the same time, they should communicate with the external groups, such as clients, suppliers, regulators and stockholders.”
Penerapan unsur informasi dalam suatu instansi pemerintah akan dianggap berhasil apabila telah mampu menjaring informasi yang relevan dan dapat diandalkan baik berupa informasi keuangan maupun non keuangan yang berhubungan dengan peristiwa-peristiwa eksternal serta internal. Selanjutnya informasi tersebut disajikan dalam rincian yang memadai serta dalam bentuk dan waktu yang tepat sehingga memungkinkan aparat instansi pemerintah melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya secara efisien dan efektif.[22]
Komunikasi dalam pengendalian intern terdiri dari komunikasi intern dan komunikasi ekstern. Komunikasi intern adalah komunikasi yang terjadi dalam organisasi instansi pemerintah, yakni antara pegawai (komunikasi horizontal), maupun atasan dengan pegawai (komunikasi vertikal). Komunikasi vertikal terjadi saat pimpinan memberikan arahan kepada bawahan agar dapat melaksanakan tugas baik dan saat bawahan menyampaikan laporan pelaksanaan tugas. Komunikasi horizontal berlangsung tidak lebih formal daripada komunikasi vertikal.[23]
Komunikasi intern bertujuan untuk menciptakan dan mempertahankan sistem pengendalian yang konstruktif dan lingkungan kerja yang efektif. Komunikasi yang baik memungkinkan seluruh pejabat dan pegawai di instansi pemerintah dapat melaksanakan tugas-tugas mereka dengan baik dan aspek pengendalian penting yang terkait. Informasi harus dikomunikasikan oleh pimpinan kepada para pegawainya agar mereka mempunyai dasar perencanaan, agar rencana-rencana itu dapat dilaksanakan. Pengorganisasian memerlukan komunikasi dengan bawahan tentang penugasan mereka. Pengarahan mengharuskan pejabat untuk berkomunikasi dengan bawahannya agar tujuan suatu unit kerja dapat tercapai. Jadi seorang pejabat akan dapat melaksanakan fungsi-fungsi manajemen melalui interaksi dan komunikasi dengan pihak lain. Komunikasi akan mempermudah pengambilan keputusan.[24]
5.    Pemantauan
Pemantauan akan efektif jika direncanakan dengan baik dan didukung oleh organisasi. Hal ini diungkapkan oleh COSO (2008, p.3) yang menyatakan bahwa
Monitoring is effective when properly planned and supported by the organization. This planning and support form the foundation for monitoring, which includes (1) a tone from the top about the importance of internal control (including monitoring), (2) an organizational structure that considers the roles of management and the board in regard to monitoring, and the use of evaluators with appropriate capabilities and objectivity, and (3) a baseline understanding of internal control effectiveness.”

Penerapan monitoring dalam proses pengendalian intern dapat dijelaskan dengan gambar di bawah ini:
Gambar:  Monitoring Applied to the Internal Control Process
Dari gambar di atas dapat dijelaskan bahwa pemantauan pengendalian intern dilakukan pada semua unsur pengendalian intern dalam rangka memantau efektivitas pelaksanaan pengendalian pada masing-masing unsur tersebut. Pemantauan tersebut memerlukan informasi dan komunikasi dan dari pemantauan tersebut dapat dilakukan penilaian risikonya.
Menurut PP Nomor 60 tahun 2008, pemantauan sistem pengendalian intern dilaksanakan melalui pemantauan berkelanjutan (on going monitoring), evaluasi terpisah (separate evaluation) dan tindak lanjut rekomendasi hasil audit dan reviu lainnya. Pemantauan berkelanjutan diselenggarakan melalui kegiatan pengelolaan rutin, supervisi, pembandingan, rekonsiliasi, dan tindakan lain yang terkait dalam pelaksanaan tugas, sedangkan evaluasi terpisah  diselenggarakan melalui penilaian sendiri, reviu, dan pengujian efektivitas Sistem Pengendalian Intern.
Pemantauan Berkelanjutan
Makna berkelanjutan adalah terus menerus dan tidak berhenti. Hakikat dari prinsip berkelanjutan adalah proses yang berlangsung terus menerus untuk perbaikan yang berkesinambungan. Dengan demikian, pemantauan berkelanjutan adalah pengecekan atas mutu kinerja sistem pengendalian intern secara terus menerus dan menyatu dalam kegiatan instansi pemerintah. Hal ini mencakup proses penilaian capaian kualitas pengendalian intern dalam suatu jangka waktu tertentu, memastikan apakah pengendalian intern telah berfungsi seperti yang diharapkan, dan memastikan bahwa perbaikan yang dilakukan telah sesuai dengan kebutuhan. Pemantauan harus menilai apakah seluruh tujuan umum yang ditetapkan dalam pengendalian intern telah tercapai.[25]
Evaluasi Terpisah
Pengertian evaluasi menurut Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor PER/05/M.PAN/03/2008 adalah rangkaian kegiatan membandingkan hasil/prestasi suatu kegiatan dengan rencana, standar, atau norma yang telah ditetapkan dan menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan suatu kegiatan dalam mencapai tujuan.
Sedangkan makna kata evaluasi terpisah lebih ditekankan pada pelaku evaluasi yang berbeda dari pelaksana kegiatan pengendalian yang dievaluasi. Dengan demikian evaluasi terpisah adalah kegiatan membandingkan kinerja sistem pengendalian dengan standar yang seharusnya dan dilakukan oleh pihak di luar unit kerja/instansi pemerintah yang melaksanakan sistem pengendalian. Dalam konteks penerapan SPIP, pengertian evaluasi terpisah adalah kegiatan membandingkan pelaksanaan SPIP dengan standar yang telah ditentukan dalam daftar uji atau tools lain yang telah ditetapkan pimpinan instansi pemerintah atau pelaksana evaluasi terpisah.[26]
E.    SIMPULAN
Kerangka kerja pengendalian COSO, yang selanjutnya diadopsi dalam Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008, menekankan pada suatu proses penyadaran akan pengendalian, penilaian dan pengelolaan risiko dengan aktivitas pengendalian yang dilakukan oleh setiap orang dalam organisasi. COSO lebih menekankan pada usaha setiap orang untuk mencapai tujuan dari pada penggunaan alat-alat pengendaliannya. Oleh karena itu, kerangka kerja COSO mengedepankan proses dan dinamika organisasi yang mengandalkan pada kompetensi dan kesadaran orang, sehingga disebut sebagai pengendalian yang bersifat lunak (soft control).
Kerangka kerja pengendalian COSO memandang bahwa pengendalian internal bukan suatu kejadian atau keadaan, namun suatu rangkaian tindakan yang mencakup seluruh kegiatan organisasi yang dilakukan orang untuk mendapatkan keyakinan yang wajar bahwa tujuan akan dicapai. Tindakan-tindakan ini melekat dan melingkupi ke dalam cara manajemen dan personil lain dalam organisasi menjalankan aktivitas kegiatannnya.
Arah menuju pengendalian yang bersifat lunak (soft control) terlihat dari dikedepankannya unsur lingkungan pendendalian, yang merupakan pondasi dan atmosfer sistem pengendalian intern. Lingkungan pengendalian memiliki dampak yang sangat kuat terhadap struktur kegiatan, penetapan tujuan dan penilaian risiko. Lingkungan pengendalian juga mempengaruhi kegiatan pengendalian, sistem informasi dan komunikasi, dan kegiatan pemantauan. Lingkungan pengendalian dipengaruhi oleh budaya dan sejarah organisasi dan mempengaruhi kesadaran pengendalian orang-orang dalam organisasi. Sebagai the tone of the top, lingkungan pengendalian menentukan “irama organisasi”, yang mempengaruhi kesadaran pengendalian semua orang dalam organisasi. Faktor-faktor pembentuk lingkungan pengendalian termasuk integritas, nilai-nilai etik dan kompetensi orang-orang dalam organisasi, filosofi manajemen, gaya operasi, cara manajemen melaksanakan wewenang dan tanggung jawab, cara mengorganisir dan mengembangkan orang-orang, serta perhatian dan arahan manajemen tertinggi mempengaruhi sistem pengenalian intern secara keseluruhan.
Namun demikian, pengendalian intern hanya mampu memberikan sebuah keyakinan memadai kepada manajemen terkait dengan pencapaian tujuan organisasi. Hal ini berlaku untuk keseluruhan, tidak peduli bagaimana pengendalian intern dirancang dan dioperasikan, karena pencapaian tujuan dipengaruhi oleh keterbatasan yang melekat dalam seluruh sistem pengendalian intern. Kenyataan menunjukkan bahwa pertimbangan manusia dalam pengambilan keputusan bisa saja salah. Di samping itu, orang-orang yang bertanggung jawab dalam penetapan pengendalian perlu mempertimbangkan biaya dan manfaat. Dan kemacetan pengendalian dapat terjadi karena kegagalan faktor manusia dan pengendalian dapat dirusak oleh kolusi antara dua orang atau lebih.
Sebagaimana diamanatkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008, dengan segala keterbatasan yang melekat pada sistem pengendalian intern, instansi pemerintah wajib melakukan pengendalian atas penyelenggaraan kegiatan pemerintahan dalam upaya untuk mencapai pengelolaan keuangan negara yang efektif, efisien, transparan, dan akuntabel. Dengan diterapkannya SPIP, diharapkan dapat memberikan keyakinan yang memadai bagi tercapainya efektivitas dan efisiensi pencapaian tujuan penyelenggaraan pemerintahan negara, keandalan pelaporan keuangan, pengamanan aset negara, dan ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan. Pimpinan Instansi Pemerintah diharapkan sepenuhnya sadar akan pentingnya sistem pengendalian intern.
Pertanyaan utama yang sering diutarakan adalah apakah SPIP ini dapat diimplimentasikan dalam penyelenggaraan pemerintahan, mengingat SPIP ini dirasakan belum sepenuhnya “membumi” dan karakter SPIP yang soft control dipandang belum jelas bentuk nyatanya.  Hal ini mungkin disebabkan instansi pemerintah terbiasa dengan pengendalian yang bersifat hard control, yang lebih mengedepankan kegiatan pengendalian yang cenderung berkarakter keras dan bersifat kaku.
Meskipun demikian, kita tidak perlu pesimis akan keberhasilan penerapan SPIP. Kita harus mencoba. Dan sesuai slogan dan semboyan SPIP yang sering didengungkan oleh BPKP selaku pembina penyelenggaraan SPIP, maka dalam mengimplementasikan SPIP kita HARUS BISA dan PASTI BISA. Semoga.


DAFTAR PUSTAKA

Committee of Sponsoring Organizations of the Treadway Commission. 2002. Internal Control -Integrated Framework.
_______. 2008. Exposure Draft: Internal Control Integrated Framework. Guidance on Monitoring Internal Control Systems. Volume II - Guidance
_______. 2008. Exposure Draft: Internal Control Integrated Framework. Guidance on Monitoring Internal Control Systems. Volume III - Application Technique
_______. 2009. Guidance on Monitoring Internal Control Systems: Introduction
Mustafa, Ii Baihaqi. 2004. Pengendalian Intern dan Pemberantasan Korupsi. Artikel Warta Pengawasan Vol. XI/No.1/2004. Hal. 6-10.
Institute of Internal Auditors. 2008. Sarbones-Oxley Section 404: A Guide for Management by Internal Controls Practitioners: 2nd Edition
_______. n.d.  Internal Auditing Principles and Techniques: 2nd Edition. Altamonte Springs, Florida: IIA
Intosai. nd. Guideline for Internal Control Standards for The Public Sector. Brussels & Vienna: Intosai
Peraturan BPK RI Nomor 2 Tahun 2007 tentang Kode Etik Badan Pemeriksa Keuangan.
Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor PER/04/M.PAN/03/2008 tentang Kode Etik Aparat Pengawasan Intern Pemerintah.
Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor PER/05/M.PAN/03/2008 tanggal 31 Maret 2008 tentang Standar Audit Aparat Pengawasan Internal Pemerintah
Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah
Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah
Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2006 tentang Perubahan Keempat atas Keputusan Presiden Nomor 42 Tahun 2002 tentang Pedoman Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
Suminto. 2004. Pengelolaan APBN dalam Sistem Manajemen Keuangan Negara. Makalah sebagai bahan penyusunan Budget in Brief 2004 (Ditjen Anggaran, Depkeu)
Satgas Pembinaan SPIP. 2009a. Draft Pedoman Teknis Penyelenggaraan SPIP: Umum. Jakarta: BPKP.
_______. 2009b. Draft Pedoman Teknis Penyelenggaraan SPIP: Penegakan Integritas dan Nilai Etika. Jakarta: BPKP.
_______. 2009c. Draft Pedoman Teknis Penyelenggaraan SPIP: Komitmen pada Kompetensi. Jakarta: BPKP.
_______. 2009d. Draft Pedoman Teknis Penyelenggaraan SPIP: Kepemimpinan yang Kondusif. Jakarta: BPKP
_______. 2009e. Draft Pedoman Teknis Penyelenggaraan SPIP: Penilaian Risiko. Jakarta: BPKP.
_______. 2009f. Draft Pedoman Teknis Penyelenggaraan SPIP: Sub Unsur Informasi. Jakarta: BPKP
_______. 2009g. Draft Pedoman Teknis Penyelenggaraan SPIP: Komunikasi yang Efektif. Jakarta: BPKP.
_______. 2009h. Draft Pedoman Teknis Penyelenggaraan SPIP: Evaluasi Berkelanjutan. Jakarta: BPKP.
_______. 2009i. Draft Pedoman Teknis Penyelenggaraan SPIP: Evaluasi Terpisah. Jakarta: BPKP.
Stringer, Carolyn dan Carey, Peter. n.d. Internal Control Re-design: An Explanatory Study of Australian Organization.
Tan Wen-Hao dan Liu Hong. 2009. The embedded financial governance system based on COSO framework—A new method of integration. Journal of Modern Accounting and Auditing, ISSN 1548-6583, USA, Nov. 2009, Vol.5, No.11 (Serial No.54).
Tim Penyusun Modul Program Pendidikan Non Gelar Auditor Sektor Publik. 2007. Sistem Pengendalian Internal. Bintaro Jaya, Tangerang: Sekolah Tinggi Akuntansi Negara.
United States General Accounting Office. 1999. Standard for Internal Control in the Federal Government
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.


[1] Satgas Pembinaan SPIP. 2009a. Draft Pedoman Teknis Penyelenggaraan SPIP: Umum. Jakarta: BPKP. Diuraikan dalam bagian Pendahuluan.
[2] PP Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah, bagian Penjelasan Umum
[3] Satgas Pembinaan SPIP. Op.Cit. Hal. 8
[4] Tim Penyusun Modul Program Pendidikan Non Gelar Auditor Sektor Publik. 2007. Sistem Pengendalian Internal. Bintaro Jaya, Tangerang: Sekolah Tinggi Akuntansi Negara. Hal. 5.
[5] Ibid. Hal. 5.
[6] Ibid. Hal. 8.
[7] Tim Penyusun Modul Program Pendidikan Non Gelar Auditor Sektor Publik. Op.Cit. Hal. 38.
[8] Tim Penyusun Modul Program Pendidikan Non Gelar Auditor Sektor Publik. Op.Cit. Hal. 46.
[9] Satgas Pembinaan SPIP. 2009b. Draft Pedoman Teknis Penyelenggaraan SPIP: Penegakan Integritas dan Nilai Etika. Jakarta: BPKP. Hal. 2.
[10] Ibid. Hal. 6.
[11] Ibid. Hal. 7.
[12] Satgas Pembinaan SPIP. 2009c. Draft Pedoman Teknis Penyelenggaraan SPIP: Komitmen pada Kompetensi. Jakarta: BPKP. Hal. 5 - 6.
[13] Tim Penyusun Modul Program Pendidikan Non Gelar Auditor Sektor Publik. Op.Cit. Hal. 47
[14] Ibid. Hal. 51.
[15] Ibid. Hal. 76
[16] Ibid. Hal. 77
[17] Ibid. Hal. 78
[18] Satgas PP SPIP Pusat. 2009e. Draft Pedoman Teknis Penyelenggaraan SPIP: Penilaian Risiko. Jakarta: BPKP. Hal. 5
[19] Tim Penyusun Modul Program Pendidikan Non Gelar Auditor Sektor Publik. Op.Cit. Hal. 11.
[20] Ibid. Hal. 75
[21] Ibid. Hal. 75-76.
[22] Satgas Pembinaan SPIP. 2009f. Draft Pedoman Teknis Penyelenggaraan SPIP: Sub Unsur Informasi. Jakarta: BPKP. Hal. 5.
[23] Satgas Pembinaan SPIP. 2009g. Draft Pedoman Teknis Penyelenggaraan SPIP: Komunikasi yang Efektif. Jakarta: BPKP. Hal. 5.
[24] Ibid. Hal. 6.
[25] Satgas Pembinaan SPIP. 2009h. Draft Pedoman Teknis Penyelenggaraan SPIP: Evaluasi Berkelanjutan. Jakarta: BPKP. Hal. 3-4.
[26] Satgas Pembinaan SPIP. 2009i. Draft Pedoman Teknis Penyelenggaraan SPIP: Evaluasi Terpisah. Jakarta: BPKP. Hal. 4.

3 komentar:

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. bagus banget ini penjelasannya.. mudah dimengerti :)

    BalasHapus
  3. Terima kasih atas ilmunya, semoga Allah memberkahi akhiy, aamiin

    BalasHapus