Selasa, 03 Januari 2012

Teori Fraud


TEORI FRAUD


Dalam International Profesional Practices Framework (IPPF), bagian Standard Glossary, The Institute of Internal Auditors (IIA) mendefinisikan dan menjelaskan fraud sebagai:
Any illegal act characteried by deceit, concealment, or violation of trust. These acts are not dependent upon the threat of violance or physical force. Frauds are perpetrated by parties and organizations to obtain money, property, or services; to avoid payment or loss of services; or to secure personal or business advantage. 
Adapun definisi fraud menurut BPK RI (2007) adalah sebagai satu jenis tindakan melawan hukum yang dilakukan dengan sengaja untuk memperoleh sesuatu dengan cara menipu.
Di samping itu, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau KUHP menyebutkan beberapa pasal yang mencakup pengertian fraud (dalam Tuanakotta, 2007, p.95-96) seperti:
(1)   Pasal 362: Pencurian (definisi KUHP: “mengambil sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum”);
(2)   Pasal 368: Pemerasan dan Pengancaman (definisi KUHP: “dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa seseorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang itu atau orang lain, atau supaya membuat utang maupun menghapuskan piutang”);
(3)   Pasal 372: Penggelapan (definisi KUHP: “ dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan”);
(4)   Pasal 378: Perbuatan Curang (definisi KUHP: “ dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi utang maupun menghapuskan piutang”);
(5)   Pasal 396: Merugikan pemberi piutang dalam keadaan pailit;
(6)   Pasal 406: Menghancurkan atau merusakkan barang;
(7)   Pasal 209, 210, 387, 388, 415, 417, 418, 419, 420, 423, 425, dan 435 yang secara khusus diatur dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999).
Dari sisi pemerintah, pelaku bisnis, dan masyarakat awam sekalipun, fraud telah dipahami dapat merugikan keuangan negara, keuangan perusahaan, dan merusak sendi-sendi budaya masyarakat. Namun umumnya, pimpinan suatu organisasi/instansi seringkali merasa bahwa organisasinya termasuk lingkungan yang terbebas dari risiko fraud (Sudarmo et.al, 2008, p.8). Dan jika fraud terjadi di sektor pemerintahan, maka hal ini merupakan sesuatu yang serius sebab sumber daya yang terbatas tidak digunakan untuk pelayanan bagi masayarakat atau konstituen dan yang lebih parahnya lagi, masayarakat atau konstituen akan kehilangan kepercayaan pada kemampuan kepemimpinan instansi pemerintahan dalam memerintah (Ziegenfuss, 1999).
Yang menjadi pertanyaan adalah apakah ada organisasi yang benar-benar terbebas dari fraud? Berkaitan dengan pertanyaan ini, Sudarmo et.al (2008, p.8) menyatakan bahwa pada kenyataannya fraud hampir terdapat di setiap lini pada suatu organisasi, mulai dari jajaran manajemen/pimpinan puncak sampai jajaran terdepan / pelaksana bahkan sampai pesuruh (office boy). Fraud dapat dilakukan oleh siapa saja, bahkan oleh seorang pegawai yang tampaknya jujur sekalipun.
Lebih lanjut, Sudarmo et.al (2008, p.10) menyatakan bahwa meskipun masyarakat, praktisi anti-korupsi, dan para peneliti menyakini bahwa fraud di Indonesia, secara jumlah dan frekuensi, dari tahun ke tahun, terus meningkat secara tajam, secara faktual sulit untuk mengkuantifikasi kerugian nyata perbuatan fraud.  Hal tersebut dikarenakan kebanyakan fraud sulit ditemukan dan diungkap secara tuntas. Hal ini disebabkan sulit untuk mengidentifikasi dan membedakan antara ketidak hati-hatian (carelessness) dan kelemahan metode pencatatan  (poor record keeping) dengan unsur perbuatan fraud itu sendiri. Di samping itu, dalam beberapa kasus, pimpinan organisasi cenderung untuk menangani kasus fraud secara diam-diam atau bahkan menutup-nutupinya dari publik, dengan dalih pembinaan terhadap organisasi. 
Secara skematis, Association of Certified Fraud Examiners (ACFE) menggambarkan occupational fraud dalam bentuk fraud tree (dalam Tuanakotta, 2007, p.96-105). Occupational tree ini mempunyai  tiga cabang utama, yakni Corruption, Asset Misappropriation, dan Fraudulent Statements.  Berikut ini penjelasan singkat ketiga cabang utama fraud tree tersebut: 
(1)   Corruption
Istilah corruption disini serupa tetapi tidak sama dengan istilah korupsi dalam ketentuan perundang-undangan di Indonesia (Tuanakotta, 2007, p.96). Bentuk corruption menurut ACFE digambarkan dalam empat ranting, yakni conflicts of interests, bribery, illegal gratitutes, dan economic extortion.
(2)   Asset Misappropriation
Asset Misappropriation atau pengambilan aset secara illegal dalam bahasa sehari-hari disebut mencuri (Tuanakotta, 2007, p.100). Yang sering menjadi sasaran penjarahan adalah uang sebab uang tunai atau uang di bank yang menjadi sasaran tersebut langsung dapat dimanfaatkan oleh pelakunya.
(3)   Fraudulent Statements
Jenis fraud ini sangat dikenal para auditor yang melakukan general audit. Fraud ini berupa salah saji baik itu overstatement maupun understatement (Tuanakotta, 2007, p.105)
Menurut Sawyer et.al. (2006, p. 341-343), fraud oleh karyawan dan manajemen merupakan rumput liar beracun yang tumbuh subur dalam sebuah iklim yang permisif dimana benih-benih fraud dibantu bahkan diundang untuk tumbuh dan berkembang. Untuk mencegah terjadinya fraud, lingkungan dalam sebuah organisasi harus tegas. Manajemen hendaknya menentukan dengan jelas dalam kebijakan-kebijakan tertulisnya mengenai komitmen dalam perlakuan yang adil, posisinya dalam konflik kepentingan, persyaratannya akan merekerut karyawan-karyawan yang jujur, keharusannya akan kontrol internal yang kuat dan diatur dengan baik, serta keteguhannya untuk menghukum yang bersalah. Di samping iklim yang permisif, terdapat tiga gabungan kondisi lain yang dapat menggerakkan seseorang untuk melakukan fraud, yaitu:
(1)   Tekanan situasional pada karyawan
Karyawan mungkin terlibat utang atau ia mungkin ditekan untuk memperbaiki posisinya. Begitu pula kompetisi yang kuat, skedul atau spesifikasi yang berat, atau peraturan-peraturan yang keras, mungkin karyawan akan melakukan hal-hal yang ilegal atau tidak etis untuk membalikkan posisi mereka atau institusi mereka.
(2)   Akses terhadap aktiva yang tidak terkontrol, bersama-sama dengan ketidakpedulian dari manajemen
Salah satu penangkal yang paling kuat bagi fraud oleh karyawan dan manajemen adalah kepastian pendeteksian dan hukuman. Kontrol yang kuat dan pengawasan yang ketat makin meningkatkan kepastian ini.
(3)   Kepribadian yang menggerogoti integritas seseorang.
Beberapa orang memiliki kecenderungan untuk mengambil jalan yang tidak jujur. Ketika orang lain melihat tidak adanya halangan dalam jalan tersebut maka mereka akan cenderung untuk ikut melakukannya.
Berkaitan dengan pendekatan keorganisasian untuk mengendalikan fraud di lingkungan organisasi pemerintah, BPKP (2010, p.7) mengungkapkan bahwa walaupun upaya represif terhadap fraud telah dilakukan secara intensif, namun kerentanan organisasi pemerintah terhadap fraud dari hari ke hari cenderung meningkat. Pimpinan organisasi dapat mempelajari bagaimana penyimpangan terjadi, siapa yang melakukan, bagaimana mereka dapat melakukannya, bagaimana kecurangan terdeteksi, dan sebagainya, sehingga dapat mengambil langkah untuk memaksimalkan kemampuan organisasi untuk melindungi dari kemungkinan terjadinya fraud.
Menurut BPKP (2010, p.7), kunci untuk mencegah dan mudah mendeteksi fraud adalah penerapan model penangkal multisegi (organization-wide model of deterrence). Model ini mengandalkan keterlibatan penangkalan korupsi pada setiap level dan fungsi pada organisasi. Model ini meliputi tiga komponen yang saling berinteraksi yang dirancang untuk memaksimalkan kesempatan organisasi dalam mencegah dan mendeteksi fraud, yaitu (1) pengendalian keuangan (financial control); (2) sistem non keuangan; dan (3) pengawasan dan perilaku manajemen (management oversight and behaviour).

DAFTAR PUSTAKA
Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI), Peraturan No. 1 Tahun 2007 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan.

Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), 2010. Pedoman Teknis Fraud Control Plan (FCP), Jakarta: Deputi Bidang Investigasi BPKP.

Institute of Internal Auditors (IIA).2009. International Profesional Practices Framework (IPPF). Altamonte Springs, Florida: IIA

Sawyer, L.B., Dittenhofer, M.A. & Sheiner, J.H., 2006. Audit Internal Sawyer 5th ed. A. Akbar, ed., Jakarta: Penerbit Salemba Empat.


Sudarmo, Sawardi, T. & Yulianto, A., 2008. Fraud Auditing 5th ed., Bogor: Pusat Pendidikan dan Pelatihan Pengawasan - Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan.


Tuanakotta, T.M., 2007. Akuntansi Forensik dan Audit Investigatif, Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.


Ziegenfuss, D.E., 1996. State and local government fraud survey for 1995. Managerial Auditing Journal, pp.49-55.

2 komentar: