Selasa, 03 Januari 2012

White Collar Crime


Korupsi Sebagai Bentuk White-Collar Crime
dan  Pengaruhnya Terhadap Perekonomian Negara



Pendahuluan
White-collar crime, yang diterjemahkan sebagai kejahatan kerah putih, merupakan  permasalahan yang signifikan pada sebagian besar negara terutama di negara-negara yang sedang berkembang, termasuk Indonesia. Kejahatan ini dilakukan oleh kalangan berpendidikan, bermartabat di mata masyarakat, dan berpenghasilan relatif tinggi. White-Collar Crime yang dilakukan oleh pelaku usaha biasanya disebut business crime atau corporate crime, sedangkan jika pelakunya adalah pejabat negara sering disebut secara spesifik sebagai tindak pidana korupsi.
White-collar crime merupakan suatu kejahatan yang nyata. Hal ini diungkapkan oleh Sutherland (1940) yang menyatakan bahwa:
White-collar crime is real crime. It is not ordinarily called crime, and calling it by this name does not make it worse, just as refraining from calling it crime does not make it better than it otherwise would be.”
Berkaitan dengan hal tersebut, maka dalam makalah ini Penulis akan menyoroti salah satu bentuk white-collar crime yang dirasakan sudah menjadi masalah kronis di negara kita, yaitu korupsi yang selanjutnya dikaitkan dengan perekonomian negara.
White-Collar Crime
Istilah white-collar crime telah digunakan secara luas dalam penelitian, namun belum ada definisi yang diterima secara universal (Benson and Moore, 1992). Sutherland (1940) mendefinisikan white-collar crime sebagai  .… a crime committed by a person of respectability and high social status in the course of his accupation.  Namun demikian, definisi dari Sutherland ini dikritik oleh Green (2005) yang menyatakan bahwa:
“Sutherland was famously vague and inconsistent in saying exactly what the term should mean. But even if he had been precise and consistent in his usage, it seems likely that the term would still have generated uncertainty and misunderstanding among other users of the term.’
Green (2005) sependapat dengan David Friedrichs yang menyatakan .… that any definition of white collar-crime is ultimately meaningfully only in relation to its stated purpose. Lebih lanjut, Nyoman (2010) mengungkapkan bahwa ruang lingkup White-collar crime ini sangat luas sesuai dengan perkembangan sosial sehingga bisa terjadi corporate and business white collar crime, professional white collar crime, maupun political white collar crime.
Menurut Mulyadi (dikutip oleh Nyoman, 2010), kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang terhormat ini  biasanya dilakukan tanpa kekerasan (non-violent) tetapi selalu disertai dengan kecurangan (deceit), penyesatan (mispresentation), penyembunyian kenyataan (concealment of facts), akal-akalan (subterfuge), manipulasi (manipulation), atau pengelakan terhadap peraturan (illegal circumvention). Selanjutnya Mulyadi mengatakan bahwa kejahatan ini biasanya dilakukan oleh orang-orang yang pandai (intellectual criminal) sehingga pengungkapannya sangat sulit.
Dampak dari white-collar crime ini tidak hanya berupa kerugian material saja, namun yang lebih penting adalah rusaknya tatanan kemasyarakatan. Hal ini diungkapkan oleh Sutherland (1940) yang menyatakan bahwa:
“The financial loss from white-collar crime, great as it is, is less important than the damage to social relations. White-collar crime violate trust and therefore create distrust, which lowers social morale and produce social disorganization on a large scale. Other crimes produce relatively little effect on social institutions or social organzation.”
Korupsi
Menurut perspektif hukum di Indonesia, definisi korupsi telah dijelaskan dalam tiga belas pasal dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Berdasarkan pasal-pasal tersebut, korupsi dirumuskan dalam tiga puluh bentuk tindak pidana korupsi beserta sanksinya. Ketigapuluh jenis/bentuk korupsi tersebut pada dasarnya dapat dikelompokkan sebagai berikut: kerugian negara, suap menyuap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan barang / jasa, dan gratifikasi (Komisi Pemberantasan Korupsi, 2006).
Lebih lanjut, Jain (dikutip oleh Wijayanto, 2009) mengungkapkan bahwa korupsi terjadi jika tiga hal terpenuhi, yaitu (1) Seseorang memiliki kekuasaan termasuk untuk menentukan kebijakan publik dan melakukan administrasi kebijakan tersebut, (2) Adanya economic rent, yaitu manfaat ekonomi yang ada sebagai akibat kebijakan publik tersebut, dan (3) Sistem yang ada membuka peluang terjadinya pelanggaran oleh pejabat publik yang bersangkutan. Apabila satu dari ketiga parameter tersebut tidak terpenuhi, tindakan yang terjadi tidak bisa dikategorikan sebagai tindakan korupsi. Definisi dan parameter yang dikemukan Jain tersebut secara tidak langsung berarti bahwa tindakan ilegal seperti penggelapan uang dan penyelundupan sepanjang tidak melibatkan pejabat publik maka tidak dapat dikategorikan sebagai tindakan korupsi, padahal secara tidak langsung tindakan ilegal tersebut merugikan publik karena mengurangi pendapatan negara dari sektor pajak (Wijayanto, 2009).
Perdana (2009) menyatakan bahwa studi korupsi dalam ilmu ekonomi umumnya berangkat dari dua bangunan teori. Yang pertama adalah teori perburuan rente (rent-seeking) dan teori atasan bawahan (principal agent). Perburuan rente disini memiliki memiliki terminologi yang luas. Ia mencakup berbagai jenis kegiatan, legal maupun ilegal, berdampak positif, negatif, maupun netral. Adapun korupsi termasuk dalam perburuan rente yang ilegal (Perdana, 2009).
Adapun istilah principal-agent problem sering disebut pula sebagai agency dilemma (Wijayanto, 2009). Principal didefinisikan sebagai pihak yang merupakan pemilik dari suatu institusi (beneficiary holder), dapat berbentuk perusahaan atau institusi pemerintah, sedangkan agent adalah staf yang ditunjuk untuk mengelola dan menjalankan aktivitas. Problem muncul ketika terdapat perbedaan kepentingan antara principal dan agent, dimana principal bertujuan mengembangkan bisnis atau melaksanakan kegiatan secara efisien, sedangkan agent bertujuan meningkatkan standar hidup dirinya dan keluarganya (Wijayanto, 2009).
Tindakan-tindakan korupsi dapat dikelompokkan dalam dua kategori besar, yaitu grand corruption atau korupsi besar dan petty corruption atau korupsi kecil (Wijayanto, 2009). Grand corruption atau korupsi besar adalah korupsi yang dilakukan oleh pejabat publik tingkat tinggi menyangkut kebijakan publik dan keputusan besar di berbagai bidang, termasuk bidang ekonomi. Korupsi ini disebut juga corruption by greed atau korupsi akibat keserakahan karena para pelaku umumnya sudah berkecukupan secara materiil (Wijayanto, 2009). Corruption by greed inilah yang dapat dikategorikan sebagai white collar crime karena pelakunya merupakan kalangan berpendidikan dan memiliki kekuasaan. Korupsi inilah yang pada akhirnya merusak tatanan perekonomian suatu negara.
Berkaitan dengan pengaruh korupsi terhadap perekonomian suatu negara, berdasarkan hasil studi yang dilakukan oleh Lambsdorff (dikutip oleh Wijayanto 2009) disebutkan bahwa besarnya proporsi budget pemerintah terhadap GDP suatu negara berkorelasi positif. Hal ini berarti semakin tinggi tingkat korupsi maka akan mempengaruhi budget pemerintah (dalam hal ini proporsi budget akan berkurang) dan pada akhirnya akan mempengaruhi pula GDP negara yang bersangkutan.
Kesimpulan
Skandal white collar crime, pada umumnya sulit untuk dilacak karena dilakukan pejabat yang memiliki kuasa untuk menghasilkan hukum dan pejabat yang membuat berbagai keputusan vital. Di samping itu, white collar crime terjadi dalam lingkungan tertutup dan pada akhirnya memungkinkan terjadinya sistem patronase.
White collar crime dibedakan dari blue collar crime. Jika istilah white collar crime ditujukan bagi aparat dan petinggi negara, blue collar crime dipakai untuk menyebut semua skandal kejahatan yang terjadi di tingkat bawah dengan kualitas dan kuantitas rendah. Namun demikain, kejahatan di tingkat bawah pada dasarnya merupakan sebuah trickle down effect. Hal ini berarti jika kita berkeinginan memberantas berbagai fraud yang terjadi di instansi pemerintah maka kita harus memulai dari white collar crime, bukan dari blue collar crime.
Dan pada akhirnya, dengan berkurangnya praktik-praktik white collar crime atau korupsi, diharapkan akan berdampak positif pada perekonomian negara kita. Semoga.



Daftar Pustaka

Benson, Michel L. and Moore, Elizabeth. 1992. Are White-Collar and Common Offenders the Same? An Empirical and Theoretical Critique of a Recently Proposed General Theory of Crime”. Journal of Research in Crime and Delinquency, Vol. 29 No. 3, August 1992
Green, Stuart P. 2004. “The Concept of White Collar Crime in Law and Legal Theory.” Buffalo Criminal Law Review, Vol. 8:1, 2004.
Komisi Pemberantasan Korupsi. 2006. Memahami untuk Membasmi: Buku Panduan untuk Memahami Tindak Pidana Korupsi. Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi
Nyoman Serikat Putra Jaya. 2010. Bahan Kuliah: Pembaharuan Hukum Pidana. Program Magister Ilmu Hukum Undip, Unsoed, dan Untag
Perdana, Ari A. 2009. “Biaya Ekonomi dari Korupsi: Perspektif Teori dan Empiris,” dalam Korupsi Mengorupsi Indonesia. Wijayanto dan Ridwan Zachrie (Editors). Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama.
Sutherland, Edwin H. 1940. White-Collar Criminality. Source: American Sociological Review, Vol. 5, No. 1 (February 1940), pp. 2-10, Copyright © 1940, American Sociological Association, Note renumbered.
Wijayanto. 2009. “Memahami Korupsi,” dalam Korupsi Mengorupsi Indonesia. Wijayanto dan Ridwan Zachrie (Editors). Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar