Selasa, 03 Januari 2012

Teori Entitas


Perbandingan Antara Proprietary Theory dengan Entity Theory , Transaksi Utang, dan Pandangan Islam



Pada dasarnya konsep penetapan posisi perusahaan terhadap stakeholder dalam akuntansi konvensional atau akuntansi yang bercorak kapitalis dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu proprietary theory dan entity theory. Seiring dengan berjalannya waktu, kedua teori ini senantiasa berkembang dan berevolusi dengan mendasarkan pada nilai-nilai kapitalisme.
Proprietary Theory
Ide dasar dari proprietary theory adalah usaha atau perusahaan merupakan perpanjangan tangan dari pemilik. Dalam konsep ini, aktiva merepresentasikan sesuatu yang dimiliki oleh pemilik dan kewajiban merupakan utang yang harus ditanggung oleh pemilik. Lebih lanjut Isgiyarta (2009, p.89) menjelaskan bahwa dalam proprietary theory, perusahaan merupakan milik pemegang saham sehingga posisi utang akan mengurangi kekayaan perusahaan dan bunga diperlakukan sebagai beban usaha. Dalam persamaan akuntansi, proprietary theory digambarkan sebagai berikut:


  Ekuitas = Aktiva - Utang

 Dari persamaan akuntansi di atas terlihat bahwa utang merupakan pengurang aktiva dan antara utang dengan ekuitas mempunyai posisi yang berbeda terhadap aktiva.
Dalam akuntansi konvensional, hal terpenting pada proprietary theory adalah aktiva bersih (aktiva – utang) yang berarti pemilik lebih menekankan pada komponen laba rugi. Hal ini sejalan dengan salah satu prinsip dasar dari aliran kapitalisme, yaitu self-interest (kepentingan pribadi). Dalam hal ini pemilik memusatkan perhatian pada upaya untuk memaksimalkan laba atau keuntungan usaha yang pada akhirnya akan meningkatkan kekayaan pemilik. Di samping itu, konsep laba rugi pada akuntansi konvensional hanya mencakup pada aspek keuangan atau materi dan konsep ini memperkuat persepsi manusia bahwa kebahagiaan itu adalah berkaitan dengan perolehan materi.
Entity Theory
Menurut Kam (dikutip oleh Triyuwono, 2003), ide utama dari entity theory ini adalah memahami perusahaan sebagai entitas yang terpisah dari pemiliknya. Teori ini muncul dengan maksud mengurangi kelemahan- kelemahan yang ada dalam proprietary theory di mana pemilik menjadi pusat perhatian. Namun demikian, entity theory pada dasarnya tidak berbeda jauh dengan teori pendahulunya, proprietary theory. Dalam konteks teori ini, terdapat dua pandangan yang berbeda walaupun keduanya mengarah kepada konklusi yang sama, yaitu stewardship atau pertanggungjawaban (accountability). Versi pertama adalah versi tradisional yang memandang bahwa perusahaan beroperasi untuk keuntungan pemegang saham, yaitu orang-orang yang menanamkan dananya dalam perusahaan. Dalam hal ini, entitas bisnis memperlakukan akuntansi sebagai laporan kepada pemegang saham tentang status dan konsekuensi dari investasi mereka. Sementara itu versi kedua, yaitu pandangan yang lebih baru terhadap entity theory, menganggap bahwa sebuah entitas adalah bisnis untuk dirinya sendiri yang berkepentingan terhadap kelangsungan hidup dan perkembangannya. Meskipun kedua versi tersebut menempatkan entitas sebagai unit independen, namun terdapat sedikit perbedaan konsep di antara keduanya. Pandangan tradisional masih memposisikan pemegang saham sebagai “partisipan” (associates), sementara sudut pandang baru lebih memposisikan mereka sebagai pihak luar (outsiders). Namun demikian, hal ini tidak mempengaruhi muatan informasi dari laporan akuntansi yang disajikan oleh entitas tersebut.
Meskipun konsep entity theory merupakan pengembangan dari konsep proprietary theory, namun bila diinterpretasikan secara kritis (khususnya dalam konteks konsep kepemilikan), sebagian besar muatannya tetap berbasiskan pada aspek-aspek ideologis yang sama dengan konsep proprietary theory. Secara gamblang, Isgiyarta (2009, p.68) menjelaskan bahwa dalam entity theory, seharusnya utang mempunyai posisi yang sama sebagai sumber dana untuk memperoleh aktiva. Hal ini ditunjukkan dengan persamaan akuntansi sebagai berikut:


    Aktiva = Utang + Ekuitas

Turunan utang, yaitu bunga utang, seharusnya mempunyai posisi yang sama dengan posisi dividen. Namun dalam praktik akuntansi konvensional, posisi bunga utang pada laporan laba rugi ditempatkan dalam kelompok beban usaha. Posisi bunga yang ditempatkan sebagai bagian dari kelompok beban usaha merupakan konsep dari proprietary theory. Posisi utang dengan posisi ekuitas mempunyai posisi yang berlainan, yaitu utang merupakan pengurang aktiva. Dengan demikian maka turunan utang yaitu bunga utang mempunyai posisi yang tidak sama dengan dividen.
Bagaimana Menurut Pandangan Islam?
Beberapa cendekiawan Muslim menawarkan dan memperkenalkan konsep yang berkaitan dengan penetapan posisi perusahaan terhadap stakeholder yang menurut mereka sesuai dengan pandangan Islam, diantaranya adalah Harahap yang menawarkan konsep enterprise theory dan Isgiyarta yang memperkenalkan konsep entitas Islam. Mengenai enterprise theory, Harahap (1997, p. 154-155) berpendapat bahwa teori tersebut lebih lengkap dibandingkan dengan teori yang lain, karena ia melingkupi aspek sosial dan pertanggungjawaban sebagaimana diungkapkan dalam pernyataan berikut ini:
“Kalau ada pernyataan mengenai postulat, konsep, dan prinsip akuntansi Islam itu maka saat ini yang bisa saya jawab adalah masalah ini tidak semudah yang dibayangkan. Tentunya untuk merumuskan ini perlu pengkajian multi dimensi. Yang jelas literatur sampai saat ini belum bisa menjelaskannya. Tapi dari postulat, konsep, dan prinsip yang ada dapat kita saring mana yang sejalan dengan konsep Islam. Misalnya konsep mana yang dipakai dari ketiga konsep: proprietary theory, entity theory, dan enterprise theory? Maka akan saya jawab enterprise theory karena lebih mencakup aspek sosial dan pertanggungjawaban…....... Enterprise theory menjelaskan bahwa akuntansi harus melayani bukan saja pemilik perusahaan, tetapi juga masyarakat.”
Adapun mengenai konsep entitas Islam, Isgiyarta (2009, p.98) menjelaskan bahwa mengenai posisi perusahaan bagi seorang muslim dan masyarakat Islam, perusahaan harus benar-benar terpisah dari pemilik dan kemudian perusahaan harus jelas berkelanjutannya dalam rangka memenuhi kemanfaatannya bagi masyarakat. Untuk itu entitas yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:


Aktiva = Sumber Dana Waktu Terbatas + Sumber Dana Waktu Tidak Terbatas + Akumulasi Marjin Keberlanjutan Usaha

 Dalam konsep entitas Islam tersebut, perusahaan merupakan unit yang terpisah baik secara ekonomi maupun hukum dengan pihak-pihak yang berkepentingan, seperti pemberi sumber dana waktu terbatas dan sumber dana waktu tidak terbatas.
Namun demikian, Taheri (2003) berpendapat bahwa theoretical concept yang sesuai dengan model akuntansi Islam adalah proprietary theory dan penulis setuju dengan pendapat ini. Menurut hemat penulis, manusia / orang yang nantinya akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah, bukan entitas, sehingga konsep yang sesuai adalah proprietary theory. Akan tetapi, proprietary theory menurut Islam berbeda dengan konsep yang diberlakukan pada akuntansi konvensional yang cenderung mengutamakan self-interest dan upaya untuk menumpuk kekayaan.
Menurut Al-Quran, segala sesuatu di alam semesta ini adalah milik Allah SWT . “Milik Allah-lah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi."  [QS. Al-Baqarah :284].  "Dan milik Allah-lah kerajaan langit dan bumi, dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu."  [QS. Al-Imran :189]. Secara hakiki kepemilikan adalah milik Allah, manusia diberi kepercayaan memegang sumber daya atau kekayaan yang akan dipertanggungjawabkan kepada-Nya. Manusia harus mempertanggungjawabkan semua perbuatannya, termasuk dalam mengelola kekayaannya. Hal ini berarti yang harus bertanggung jawab di akhirat nanti adalah manusia, bukan entitas atau perusahaan. Adapun tujuan hidup hamba Allah menurut Al-Qur’an adalah untuk beribadah kepada Allah. Hal ini ditunjukan dalam ayat-ayat Al-Qur’an, diantaranya:
§  Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi (beribadah) kepada-Ku” (QS. Adz-Dzariyat: 56).
§  Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan)  agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat, dan yang demikian itulah agama yang lurus” (QS. Al-Bayyinah: 5).
Untuk itu, tujuan seorang muslim dalam mendirikan suatu usaha adalah semata-mata untuk ibadah kepada Allah, pendirian perusahaan semata-mata ditujukan untuk memberikan kemasalahatan kepada masyarakat dan lingkungannya, bukan semata-mata untuk mencari keuntungan materi ataupun menumpuk kekayaan. Adapun jika pemilik perusahaan memanfaatkan jasa manajer untuk mengelola perusahaan (sesuai dengan konsep Agency Theory), tanggung jawab atas pengelolaan perusahaan pada akhirnya tetap berada di tangan pemilik. Semua yang dilakukan oleh manajer, selaku agen, pada dasarnya hanya menjalankan perintah dari pemilik dan sudah sewajarnya jika pemilik yang harus bertanggung jawab sepenuhnya atas operasi perusahaan.
Berkaitan dengan zakat, Hefni (2008, p.213) menjelaskan bahwa harta yang kita miliki bukan sepenuhnya milik kita, tetapi milik Allah yang ditipkan kepada kita. Karena statusnya sebagai titipan, maka Allah berkuasa memerintahkan kepada kita untuk menyisihkan sebagian dari harta itu buat orang-orang yang Dia inginkan. Dengan harta yang kita sisihkan melalui zakat akan terjadi perputaran di kalangan faqir miskin yang akan menyebabkan pemerataan kesejahteraan dan kemakmuran di seluruh sendi kehidupan masyarakat.
Dengan demikian, jika entity theory yang diterapkan maka zakat mal atau zakat harta tidak dapat diberlakukan karena entitas atau perusahaan bukan objek zakat. Lain halnya jika proprietary theory yang digunakan, maka aktiva melekat pada pemilik yang merupakan objek zakat sehingga atas aktiva tersebut dapat dikenakan zakat mal. Untuk itu klasifikasi aktiva yang digunakan dalam laporan keuangan adalah klasifikasi menurut ukuran zakat.
Penggunaan pendekatan proprietary theory berarti kekayaan pemilik atas perusahaan adalah aktiva bersih atau aktiva dikurangi utang atau ditunjukkan dengan persamaan akuntansi sebagai berikut:
                                                            
    Ekuitas = Aktiva - Utang

     dan

Ekuitas  = Sumber Dana Waktu Terbatas + Sumber Dana Waktu Tidak Terbatas + Akumulasi Marjin Keberlanjutan Usaha

Penulis berpendapat bahwa “sumber dana waktu terbatas” tidak dapat disamakan dengan utang, namun lebih cenderung setara dengan penyertaan modal dalam waktu terbatas. “Sumber dana waktu terbatas” sebaiknya dikelompokkan ke dalam ekuitas dengan pertimbangan bahwa sesuai kesepakatan, pemberi sumber dana waktu terbatas akan memperoleh bagian atas laba perusahaan yang dapat dipersamakan dengan dividen, demikian juga sebaliknya, jika perusahaan rugi maka ia juga akan mendapatkan porsi untuk menanggung kerugian perusahaan tersebut. Sedangkan untuk “akumulasi marjin keberlanjutan usaha”, pada hakekatnya merupakan milik dari pemberi sumber dana (waktu terbatas maupun waktu tidak terbatas) yang pada akhirnya harus dipertanggungjawabkan juga oleh pemberi sumber dana tersebut kepada Allah.
Lain halnya dengan utang, pemberi utang tidak akan terpengaruh oleh keuntungan maupun kerugian yang dialami perusahaan. Utang merupakan pengurang aktiva dan utang wajib dikembalikan oleh pemberi “Sumber dana waktu tak terbatas” maupun pemberi “Sumber dana waktu terbatas”.
Lalu bagaimana dengan bunga utang? Dicatat sebagai apa bunga utang tersebut? Dalam Islam, bunga utang yang dipersamakan dengan riba sangat dilarang. Jadi tidak ada bunga atas utang tersebut sehingga tidak ada beban atas bunga utang sebagaimana dikenal dalam akuntansi kovensional. Pemberi sumber dana sebagai pihak yang berutang hanya berkewajiban mengembalikan utang sebesar nilai utang tersebut.
Utang, Riba dan Nilai Mata Uang
Riba atau bunga utang atau dalam istilah Jawa diartikan menganakkan uang, sangat dilarang dalam Islam. Adapun dalil yang mengharamkan riba dalam Al-Qur’an diantaranya adalah: 
§  Dan Allah telah mengharamkan riba.” (Qs. Al Baqarah: 275)
§  Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah bahwa Allah dan rasul-Nya akan memerangimu. dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu. Kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” (QS. Al-Baqarah: 278-279).
§  Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan) dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” (QS. Al Baqarah: 275).
§  Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.” (QS. An Nisaa: 161)
Sedangkan dalil dalam As-Sunnah yang mengharamkan riba dan menjelaskan keburukan-keburukan riba, diantaranya adalah:
§  Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pemakan riba, orang yang memberi makan dengan riba, juru tulis transaksi riba dan dua orang saksinya. Kedudukan mereka itu semuanya sama (HR. Muslim).
§  “Janganlah emas ditukar dengan emas, perak dengan perak, kecuali hanya boleh dilakukan bila sama ukuran/beratnya. Jangan kalian pisahkan salah satu di antaranya, dan jangan kalian menjual yang belum ada dengan yang sudah ada. Karena aku khawatir kalian melakukan Riba.” (HR. Ahmad).
§  “Emas ditukar dengan emas, perak ditukar dengan perak, gandum merah dengan gandum merah, gandum dengan gandum, kurma dengan kurma dan garam dengan garam harus sama beratnya dan harus diserahterimakan secara langsung. Kalau berlainan jenis, silakan kalian jual sesuka kalian, namun harus secara kontan juga.” (HR. Muslim)
§  Satu dirham yang diperoleh oleh seseorang dari transaksi riba sedangkan dia mengetahui, lebih besar dan buruk dosanya daripada melakukan perbuatan zina sebanyak 36 kali.” (HR. Ahmad)
Umat Islam pun telah sepakat untuk mengharamkan riba dan meyakini bahwa hal tersebut termasuk dosa besar. Di sisi lain, riba merupakan salah satu bentuk kezaliman, sedangkan keadilan yang terkandung dalam syariat Islam tentunya mengharamkan kezaliman. Namun terdapat beberapa orang yang mengatakan bahwa, “Bagaimana bisa transaksi ribawi dikatakan sebagai bentuk kezaliman padahal mereka yang berutang telah ridha terhadap bentuk transaksi muamalah ini?” Atas pertanyaan tersebut, Muslim (2009) memberikan jawaban bahwa:
·     Pertama, sesungguhnya bentuk kezaliman dalam bentuk muamalah ribawi sangat nyata, yaitu mengambil harta milik orang lain secara batil, karena sesungguhnya kewajiban bagi orang yang menghutangi adalah memberikan kelonggaran dan tambahan waktu bagi pihak yang berutang tatkala kesulitan untuk melunasi utangnya (sebagaimana firman Allah dalam QS. Baqarah: 280). Apabila terdapat tambahan dalam transaksi tersebut lalu diambil, maka hal ini merupakan salah satu bentuk tindakan mengambil harta orang lain tanpa hak. Yang patut diperhatikan pula bahwa seluruh hamba di bawah aturan yang telah ditetapkan Allah, mereka tidak boleh ridha terhadap sesuatu yang tidak diridhai oleh Allah. Oleh karenanya, ridha dari pihak yang berutang terhadap transaksi ribawi tidak dapat dijadikan alasan untuk melegalkan praktek ribawi.
·     Kedua, jika ditilik lebih jauh, sebenarnya pihak yang berhutang tidak ridha terhadap transaksi tersebut sehingga statusnya layaknya orang yang tengah dipaksa, karena dirinya takut kepada pihak yang menghutangi apabila tidak menuruti dan mengikuti bentuk muamalah ini, mereka akan memenjarakan dan melukai dirinya atau menghalanginya dari bentuk muamalah yang lain. Maka secara lisan dirinya menyatakan ridha, namun sebenarnya dirinya tidaklah ridha, karena seorang yang berakal tentunya tidak akan ridha jika utangnya dinaikkan tanpa ada manfaat yang dia peroleh
Namun yang menjadi pertanyaan adalah apakah jumlah nominal uang saat ini mempunyai nilai yang sama dengan uang yang nominalnya sama untuk waktu mendatang? Apakah wajar jika kita saat ini berutang, misalnya sepuluh juta rupiah yang selanjutnya pada sepuluh tahun mendatang kita mengembalikan dengan jumlah yang sama yaitu sepuluh juta rupiah? Kemungkinan besar pihak pemberi pinjaman akan merasa keberatan jika utang yang dikembalikan tersebut untuk peminjaman jangka waktu yang relatif lama (misalnya sepuluh tahun) tersebut dikembalikan dalam jumlah yang sama karena nilai uang tersebut telah menurun akibat inflasi. Demikian juga sebaliknya, alangkah senangnya pemberi pinjaman jika terjadi deflasi sebab jumlah uang yang ia terima nilainya lebih besar bila dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.
Kejadian tersebut di atas tidak akan terjadi jika nilai riil uang tersebut stabil atau nilainya tetap (tidak ada inflasi maupun deflasi). Menurut Chapra (dikutip oleh Taheri, 2003), kejujuran dan keadilan dalam semua tindakan merupakan nilai yang sangat ditekankan dalam Al-Qur’an, misalnya, “Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil." [QS: Al-An'am : 152]. Ayat Al-Qur’an ini tidak harus diterapkan hanya bagi individu tetapi juga untuk kehidupan sosial dan negara serta tidak boleh dibatasi hanya untuk berat dan ukuran konvensional tetapi juga harus mencakup semua ukuran nilai. Wajib bagi negara Islam untuk menggunakan uang secara sehat, kebijakan fiskal dan kontrol yang tepat (bila diperlukan) untuk meminimalkan erosi dalam nilai riil uang.
Namun demikian, penulis berpendapat bahwa sepanjang mata uang atau uang kertas (banknote) tersebut masih berupa benda yang tidak riil atau imajiner maka menjaga kestabilan nilai riil uang tersebut bukan pekerjaan yang mudah. Saat ini selembar uang kertas merupakan bentuk suatu kepercayaan, bukan merupakan nilai riil atas materi uang kertas tersebut. Secara materi tidak ada bedanya selembar kertas yang digunakan untuk uang seribuan dengan kertas yang digunakan untuk uang seratus ribuan. Jika tidak ada nominal angka yang tertera pada kertas tersebut maka kertas tersebut tidak ada artinya, hanya selembar kertas kosong biasa. Jadi kertas tersebut akan bermakna jika memperoleh legalitas dari negara (pihak berwenang) dan mendapatkan kepercayaan dari warga negara atas nominal angka yang tertera dalam kertas tersebut. Namun, upaya untuk menjaga kepercayaan atas nilai uang tersebut agar tidak berubah sepanjang waktu bisa dikatakan sebagai suatu usaha yang hampir mustahil, apalagi saat ini mata uang bukan hanya sekedar alat tukar menukar namun sudah menjadi suatu komoditas tersendiri, yang nilai kursnya bisa dipermainkan oleh pasar.
Untuk mengatasi permasalahan agar transaksi utang-piutang yang terkait dengan nilai mata uang supaya terhindar dari riba, penulis berpendapat bahwa setidak-tidaknya ada tiga cara yang bisa ditempuh, yaitu:
1.      Nominal utang (dalam satuan mata uang) disetarakan dengan benda yang nilainya relatif stabil.
Pada zaman Rasulullah, uang yang digunakan sebagai alat tukar berupa emas atau perak (dinar dan dirham). Dengan menggunakan kedua benda ini sebagai sarana utang-piutang maka terjadinya distorsi atas nilai riil uang dapat dihindari. Untuk itu, dalam utang-piutang dewasa ini hendaknya nilai utang disetarakan dengan benda yang nilainya stabil tersebut. Sebagai contoh, perusahaan meminjam uang sebesar seratus juta rupiah. Pada saat transaksi  terjadinya utang-piutang, uang sebesar seratus juta rupiah tersebut ternyata setara dengan 500 kg emas murni 24 karat, maka besarnya utang yang harus dikembalikan oleh perusahaan adalah uang yang besarannya setara dengan 500 kg emas murni 24 karat tersebut.
Pendekatan lainnya yang dapat digunakan adalah melekatkan mata uang dengan benda-benda berharga tertentu, seperti emas ataupun perak. Sebagai contoh, selembar uang kertas (banknote) dengan nominal seratus ribu rupiah nilainya dilekatkan atau setara dengan setengah gram emas murni 24 karat. Maka dalam uang kertas tersebut harus dicantumkan pernyataan bahwa uang sebesar seratus ribu tersebut adalah senilai dengan setengah gram emas murni 24 karat. Jika pendekatan ini yang ditempuh, maka negara dan/atau pihak yang menerbitkan uang kertas harus sanggup melayani permintaan warga negara yang hendak menukarkan uang kertas dengan emas sebagaimana tertera dalam uang kertas tersebut, sehingga negara harus memiliki persediaan atau cadangan emas yang mencukupi. Dengan menggunakan pendekatan ini, jika perusahaan berutang sebesar seratus juta rupiah maka utang yang harus dikembalikan oleh perusahaan adalah tetap sebesar seratus juta rupiah.
2.   Nominal utang (dalam satuan mata uang) disetarakan dengan aset/properti yang telah disepakati kedua belah pihak.
Pendekatan ini hampir sama dengan pendekatan yang pertama, namun pada pendekatan ini benda / materi yang dilekatkan tidak harus berupa barang-barang berharga tertentu. Misalnya pemberi utang hendak menggunakan uangnya tersebut untuk membeli sebidang tanah di suatu lokasi tertentu, namun perusahaan meminjam terlebih dahulu uang tersebut untuk operasi perusahaan. Atas kasus ini, hendaknya besarnya utang yang harus perusahaan kembalikan adalah sebesar nilai dari tanah yang hendak dibeli oleh pemberi utang atau perusahaan mengembalikan utangnya dalam bentuk tanah yang hendak dibeli oleh pemberi utang.
3.      Pembayaran utang disesuaikan dengan tingkat inflasi dan/atau deflasi.
Jika pendekatan pertama maupun kedua di atas tidak memungkinkan, maka pendekatan lain yang dapat diambil adalah dalam pengembalian utang mempertimbangkan tingkat inflasi dan/atau deflasi yang terjadi. Hal ini menurut penulis dirasakan adil dan tidak menzalimi bagi kedua belah pihak sebab pihak pemberi utang maupun penerima utang tidak dirugikan oleh perubahan atas nilai riil uang.
Dalam hal pembayaran utang, Islam memberikan peringatan yang keras bagi pihak yang berutang terutama dalam hal pengembalian utang tersebut. Berikut ini beberapa hadits yang berkaitan dengan pelunasan utang:
§  “Barangsiapa yang ruhnya terpisah dari jasadnya dan dia terbebas dari tiga hal: [1] sombong, [2] ghulul (khianat), dan [3] utang, maka dia akan masuk surga.” (HR. Ibnu Majah).
§   “Barangsiapa yang mati dalam keadaan masih memiliki utang satu dinar atau satu dirham, maka utang tersebut akan dilunasi dengan kebaikannya (di hari kiamat nanti) karena di sana (di akhirat) tidak ada lagi dinar dan dirham.” (HR. Ibnu Majah).
§  “Jiwa seorang mukmin masih bergantung dengan hutangnya hingga dia melunasinya.” (HR. Tirmidzi).
§  “Siapa saja yang berhutang lalu berniat tidak mau melunasinya, maka dia akan bertemu Allah (pada hari kiamat) dalam status sebagai pencuri.” (HR. Ibnu Majah).
§  “Semua dosa orang yang mati syahid akan diampuni kecuali hutang.” (HR. Muslim).
Dari beberapa hadits tersebut di atas, terlihat jelas bahwa utang harus segera dikembalikan/ dilunasi dan penekanan pelunasan utang adalah pada manusianya, bukan pada entitas, sehingga hal ini memperkuat argumen bahwa konsep yang dirasakan sesuai dengan model Islam adalah proprietary theory.
Kesimpulan
Konsep proprietary theory maupun entity theory dalam akuntansi konvensional tidak sejalan dengan pandangan Islam. Hal ini disebabkan konsep-konsep tersebut pengembangannya berdasarkan pada prinsip-prinsip yang dianut oleh aliran kapitalis seperti private property rights, individual sovereignty, dan self-interest. Prinsip-prinsip yang dianut oleh aliran kapitalis tersebut tidak sejalan dengan ajaran Islam yang tertuang dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Namun demikian, dalam merumuskan konsep atau teori akuntansi yang sesuai dengan syariat Islam tidaklah mudah. Sehubungan setiap manusia akan dimintai pertanggungjawabannya oleh Allah, maka sebaiknya konsep proprietary theory yang diterapkan. Dengan konsep ini berarti aktiva bersih adalah milik pemilik sehingga memudahkan untuk meminta pertanggungjawaban kepada pemilik atas aktiva yang dimilikinya, baik itu dari segi pemanfaatan aktiva untuk kemaslahatan umat maupun dalam pengenaan zakat mal.
Adapun yang dimaksud dengan pemilik perusahaan adalah pendiri perusahaan yang menyertakan modal awal (sumber dana waktu tidak terbatas) maupun pemberi sumber dana waktu terbatas. Dalam hal ini konsep “pemberi sumber dana waktu terbatas“ berbeda dengan konsep “pemberi utang”, sebab pemberi utang tidak berkepentingan atas keuntungan maupun kerugian yang dialami perusahaan.
Di samping itu, dalam hukum Islam, bunga utang atau riba sangat dilarang. Riba merupakan salah satu bentuk kezaliman. Hal ini berarti dalam transaksi utang berdasarkan syariat Islam tidak ada unsur bunga utang sehingga pada model akuntansi Islam tidak mengenal adanya beban atas bunga utang. Namun demikian, hal ini bisa diterapkan hanya jika kestabilan atas nilai riil uang terjaga dengan baik.
Dan pada akhirnya, konsep dan teori akuntansi yang berdasarkan Islam perlu dikembangkan terus menerus sehingga tercapai konsep dan teori yang benar-benar berdasarkan syariat Islam. Namun semua itu harus disertai pula dengan pembentukan masyarakat Islam yang sepenuhnya menjalankan syariat Islam dan pembentukan budaya serta perilaku umat menggunakan pendekatan normatif yang bersumber pada Al-Qur’an dan As-Sunah. Budaya, perilaku dan pola pikir yang Islami inilah yang akan membentuk sistem perekonomian yang dijalankan sesuai syariat Islam yang pada akhirnya akan membentuk konsep, teori dan praktik-praktik akuntansi yang Islami pula.




DAFTAR PUSTAKA

Harahap, Sofyan Syafri. 1996. Akuntansi Islam. Jakarta: Bumi Aksara.
Hefni, Harjani. 2008. The 7 Islamic Daily Habits: Hidup Islami & Modern Berbasis Al-Fatihah. Cetakan ke-3. Jakarta: Pustaka IKADI
Isgiyarta, Jaka. 2009. Teori Akuntansi dan Laporan Keuangan Islami. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
Muslim, Muhammad Nur Ichwan. 2009. Riba dan Dampaknya. http://muslim.or.id/fiqh-dan-muamalah/riba-dan-dampaknya-1.html. Diunduh pada tanggal 7 Maret 2011.
Taheri, Mohammad R. (2003) . The Basic Principles of Islamic Economy and Their Effects on Accounting Standards-Setting. Published by Accountancy (www.accountancy. com.pk) on 9/11/2003.
Triyuwono, Iwan. 2003. Sinergi Oposisi Biner: Formulasi Dasar Laporan Keuangan Syari’ah. Iqtishad Vol. 4 No. 1 Maret 2003.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar